Minggu, 23 November 2025

Fleksibilitas Fatwa dalam Mazhab Hanbali

Fleksibilitas Fatwa dalam Mazhab Hanbali

Dalam Kasyāf al-Qinā‘, ulama besar Hanbali, Imam Al-Buhuti رحمه الله, menjelaskan sebuah kaidah penting tentang sifat fatwa dan ruang fleksibilitasnya dalam syariat.

Beliau berkata:

“Seorang mufti boleh memberikan pilihan kepada orang yang meminta fatwa, antara pendapatnya sendiri atau pendapat ulama lain yang berbeda dengannya. Karena orang yang meminta fatwa memang diberi hak untuk memilih pendapat yang ingin ia ikuti, meskipun mufti itu sendiri tidak memilih pendapat tersebut untuk dirinya.”

Kaidah ini menunjukkan salah satu ciri utama mazhab Hanbali:
meski seorang mufti berpegang pada pendapat yang menurutnya paling kuat, ia tetap mengakui bahwa pendapat ulama lain yang juga kuat boleh diikuti.

Artinya, tugas mufti bukan “memaksakan” ijtihadnya, tetapi mengarahkan si penanya agar tetap berada dalam koridor pendapat-pendapat yang mu'tabar di kalangan ulama ahlussunnah.

Untuk memperjelas prinsip ini, Al-Buhuti mengutip sebuah kisah tentang Imam Ahmad bin Hanbal رحمه الله.

Ada seorang lelaki bertanya kepada Imam Ahmad tentang sebuah kasus talak. Imam Ahmad menjawab:

“Kalau dia melakukan itu, berarti sumpahnya batal (dia melanggar sumpahnya).”

Lelaki itu bertanya lagi:

“Kalau ada orang lain memberi fatwa bahwa sumpah saya tidak batal, bagaimana?”

Imam Ahmad balik bertanya:

“Apakah kamu mengenal majelis para ulama Madinah?”

Lelaki itu menjawab:
“Kalau mereka berfatwa bahwa hal itu boleh, apakah fatwanya sah?”

Imam Ahmad menjawab:

“Ya, sah.”

Kisah ini mengajarkan beberapa prinsip penting dalam metode fiqih Ahlus Sunnah:

1. Menghormati perbedaan pendapat yang mu'tabar di antara para ulama ahlussunnah, meskipun mereka berbeda daerah atau metodologi.

2. Mengakui otoritas para Imam mujtahid lainnya, termasuk para ulama Madinah yang terkenal kuat dalam mengikuti praktik para Salaf.

3. Memberi ruang bagi orang yang bertanya fatwa untuk mengikuti pendapat ulama lain yang kredibel, meski berbeda dengan fatwa mufti pertama yang ia datangi.

Dengan demikian, penjelasan Al-Buhuti dan kisah Imam Ahmad ini menunjukkan bahwa fiqih Hanbali itu seimbang dan luwes, jauh dari sikap kaku, dan sangat menghormati khazanah keilmuan ahlussunnah secara menyeluruh.

Tujuannya satu: agar umat mengikuti ilmu yang menurutnya paling kuat landasannya dari mana pun sumbernya.
Ustadz reza 
The Flexibility of Fatwā in the Hanbalī Tradition

In Kashshāf al-Qināʿ, the renowned Hanbalī jurist Imām al-Buhūtī رحمه الله discusses an important principle regarding the nature of fatwā and legal discretion in Islamic law. He states:

> “The muftī may give the one seeking a fatwā the choice between his own view and the view of someone who differs from him; because the mustaftī (questioner) is allowed to choose [the opinion he follows] even if the muftī himself does not choose it for him.”

This principle highlights a key aspect of the Hanbalī madhhab: while the muftī adheres to the view he personally considers strongest, he recognizes that other valid juristic opinions may be followed, especially in matters where legitimate difference exists. Thus, the role of the muftī is not merely to impose his own ijtihād, but to guide the questioner within the boundaries of accepted scholarly views.

To illustrate this point, al-Buhūtī cites a narration regarding Imām Aḥmad ibn Ḥanbal رحمه الله. A man asked Imām Aḥmad about a matter related to divorce. Imām Aḥmad responded:

> “If he does that, then he has broken his oath (ḥanath).”

The man then asked:

> “What if someone gives me a fatwā that I have not broken my oath?”

Imām Aḥmad said to him:

> “Do you know the circle of the scholars of Madinah?”

The man replied: “If they give me a fatwā that it is permissible, is it valid?”

Imām Aḥmad answered:

> “Yes.”

This exchange demonstrates several fundamental principles of Sunni legal methodology:

1. Respect for diverse valid opinions within Ahl al-Sunnah, even across different regions and scholarly circles.

2. Recognition of the authority of other mujtahid Imams, particularly the Medinan tradition known for its strong reliance on the practice of the Salaf.

3. Allowance for the mustaftī to adopt an opinion supported by qualified scholars, even if it differs from the personal fatwā of the muftī he initially consulted.

Thus, both al-Buhūtī’s statement and Imām Aḥmad’s example reflect the balanced and flexible nature of Hanbalī fiqh, rooted in respect for the broader Sunni juristic heritage, preventing rigidity and encouraging adherence to sound knowledge wherever it is found.
Jewel of hambali madzhab