Sabtu, 01 November 2025

Pertemuan Kedua bersama Ustadz Khalid Syamhudi, Lc.

Liqo Maftuh Bersama Para Da’i

Pertemuan Kedua bersama Ustadz Khalid Syamhudi, Lc.

Pengalaman keliling beliau sekitar 80 persen menunjukkan adanya tiga kelemahan utama dalam beragama:

1. Kelemahan dalam agama (ikhlas).

2. Kelemahan dalam ilmu.

3. Kelemahan dalam akal.

Tiga permasalahan inilah yang sering menjadi penyebab terjadinya perselisihan, baik di kalangan para da’i maupun dalam lingkup yayasan.

Ketika hendak ta’awun (bekerjasama), sering muncul pertanyaan seperti:
“Berapa fasilitas yang akan dikasih?” atau “Ustadz, apa jobdesk-nya?”
Padahal, seorang guru memiliki kedudukan tersendiri.

Ilmu adalah sebab keselamatan dari fitnah. Adapun da’i yang lemah akalnya, sering kali keras dalam sikap namun salah dalam penerapannya. Karena itu, ajakan saya: mari kita perkuat agama, ilmu, dan akal kita.

Betapa banyak hal yang seharusnya bisa kita toleransi, tetapi kita justru bersikap keras. Termasuk lemahnya akal adalah ketika seseorang tidak mampu menerapkan skala prioritas dan tidak bisa menahan emosi.

Saya pribadi tidak suka menyampaikan hukum secara global, karena setiap daerah memiliki kondisi yang berbeda-beda. Jika seseorang mampu menerima nasihat dari yang di bawahnya atau dari yang setara dengannya, maka itu menunjukkan baiknya akal. Ia lebih mendahulukan akalnya daripada perasaannya.

Namun jika seorang da’i hanya mau menerima nasihat dari seniornya, tapi menolak nasihat dari yang setara dan juniornya, maka itu tanda kurangnya akal, sebagaimana kelemahan yang biasa ditemukan pada sifat perempuan.

Untuk menjadi lebih baik, perlu melatih tazkiyatun nufus (penyucian jiwa) dan banyak membaca agar lebih cerdas dalam menyaring dan merespons informasi. Maka dari itu, tingkatkanlah agama, ilmu, dan akal kita.

Permasalahan utama para da’i bukanlah dana. Dana itu bukan nomor satu, melainkan taqwa yang menjadi inti masalah.

Bagaimana mungkin pondok pesantren yang banyak walisantrinya menunggak tetap bisa langgeng? Itu karena kekuatan taqwanya. Terkadang kita menyikapi sesuatu hanya dengan bayangan dan prasangka yang tidak pasti. Misalnya, “Fulan itu perasaannya tidak benar.” Padahal, jika seseorang bertaqwa, Allah akan membukakan jalan keluar dari permasalahannya.

Termasuk kelemahan dalam dakwah adalah cinta popularitas.
Namun jika seseorang merasa pantas tampil karena ingin memberi manfaat bagi kaum muslimin, maka itu termasuk amal shalih. Zaman ini, kalau tidak tampil, siapa lagi yang akan menjawab kebutuhan umat? Kaum muslimin membutuhkan jawaban yang ringan dan mudah dipahami.

Orang yang tidak mau tampil karena takut masalah keikhlasan, maka niatnya perlu ditinjau kembali. Jika tujuan tampil karena dunia, itulah cinta popularitas.

Adapun dakwah tidak selalu harus berbentuk amal jama’i (kerja kolektif), karena tidak setiap kerja sama menjadi keharusan. Dalam setiap kerja sama (ta’āwun) pasti ada masalah. Apakah dengan menambah istri, semua masalah akan selesai? Tentu tidak. Setiap orang punya masalahnya masing-masing, dan bila ia bersabar, maka akan mendapat pahala.

Lalu apakah dakwah wajib dilakukan secara kerja sama? Tidak selalu.
Sebagaimana orang Muhammadiyah mengatakan, “Hidup-hidupilah Muhammadiyah, dan jangan mencari kehidupan di Muhammadiyah.”
Maka, mengapa orang Salafi tidak bisa bersikap demikian?

Kita harus memiliki ukuran dan standar dalam pendidikan.
Apakah setiap pesantren yang semua santrinya hafal Al-Qur’an bisa dikatakan bermutu tinggi? Belum tentu. Ketika ingin menambah fasilitas, perlu dilakukan evaluasi.

Kita bisa membuat sekolah murah namun berkualitas. Jika ingin menambah sesuatu, maka harus ada penghematan. Tujuannya adalah meningkatkan kualitas tanpa membuat biaya menjadi mahal. Sekolah yang mahal tapi berkualitas bukan hal istimewa. Justru mencontoh lebih mudah daripada sekadar berpikir.

Saya tidak menyalahkan sekolah yang mahal, karena mungkin sesuai dengan visi dan misinya. Namun orang kaya kadang gengsi menyekolahkan anaknya di tempat yang murah. Biarkan masyarakat memilih. Ada sekolah mahal yang sampai menolak pendaftaran karena penuh, dan ada juga sekolah yang tetap terjangkau.

Di Pondok Pesantren Ibnu Abbas Sragen, justru walisantrinya sendiri yang meminta agar biayanya dinaikkan. Saya tidak mengatakan bahwa pesantren murah itu pasti baik, tetapi yang terjangkau adalah yang lebih bermanfaat bagi masyarakat luas.
https://www.facebook.com/share/r/1DNDwG3boh/