Ibn Taimiyyah dan Ta’wīl (Bagian I)
Prolog
Akhir 2019 saat memulai perkuliahan doktoral, saya memulai 'hunting' buku karya Ibn Taimiyyah dan buku² tentangnya. Dari sekian wasilah untuk mendapatkannya, Gus Alfan Sewu Khumaidi adalah salah satu yang gigih membantu mendapatkan buku² (yang sepertinya) sulit untuk diperoleh dengan cara² konvensional. Beliau berkenan untuk 'blusukan' ke gang² sempit yang menjual buku² 'klasik'. Dan syukurnya, dengan harga yang masuk akal. Saya sangat terbantu dengan jerih payah beliau. Maturnuwun Gus!. Salah satu buku yang dibelikan adalah Qaḍiyyah al-Ta’wīl ‘inda al-Imām Ibn Taimiyyah (Persoalan Ta’wīl Menurut Imam Ibn Taimiyyah) karya Muḥammad al-Sayyid Al-Jalayand yang akan direview singkat kali ini. Buku setebal 408 halaman dan bersampul tebal (hard cover), Hanya seharga 50 ribu kala itu.
***
Buku ini menyajikan sebuah tesis sentral yang provokatif; bahwa isu hermeneutika, atau ta’wīl, bukanlah sekadar satu topik teologis di antara banyak topik lainnya dalam pemikiran Syaikh al-Islām. Sebaliknya, Al-Jalayand berargumen bahwa pemahaman mendalam atas qaḍiyyah al-ta’wīl merupakan al-miftāḥ al-ḥaqīqī (kunci sejati) untuk membuka dan memahami keseluruhan manhaj (metodologi) teologis Ibn Taimiyyah.
Bagi Al-Jalayand, penolakan keras Ibn Taimiyyah terhadap ta’wīl dalam pengertian terminologis muta’akhkhirīn (yakni dari para teolog Kalām dan filsuf) adalah fondasi di mana Ibn Taimiyyah membangun seluruh bangunan kritiknya terhadap Mutakallimūn, Filsuf, dan Sufi, serta pembelaan sistematisnya atas metodologi Salaf.
Metodologi yang digunakan Al-Jalayand bersifat analitis-historis dan filologis. Ia secara cermat melacak evolusi semantik dari istilah krusial ta’wīl; mulai dari penggunaannya dalam bahasa Arab pra-Islam, penggunaannya yang konsisten dalam Al-Qur’an, pemahamannya di era Salaf, hingga pergeseran maknanya yang radikal di tangan para Mutakallim. Al-Jalayand menunjukkan bahwa pergeseran makna inilah yang menjadi akar dari divergensi teologis yang tajam dalam sejarah pemikiran Islam.
Buku ini bukan sekadar sebuah analisis akademis yang netral. Sebagaimana yang tampak jelas dalam pengantar edisi kelima (terbit 2015), buku ini memiliki dua tujuan polemis yang mendesak dalam konteks kontemporer.
Pertama, inti dari buku ini (sejak edisi pertamanya) adalah pembelaan akademis terhadap metodologi Ibn Taimiyyah dari tuduhan klasik Mutakallimūn yang menuduhnya dengan tasybīh (antropomorfisme) dan tajsīm (literalisme korporeal) akibat penolakannya terhadap ta’wīl alegoris.
Kedua, Al-Jalayand secara eksplisit menyatakan dalam pengantar edisi baru bahwa ia menambahkan bab-bab baru untuk melawan al-tayyārāt al-ṡaqafiyyah al-mutasyaddidah (aliran-aliran budaya ekstremis) kontemporer. Aliran-aliran ini, menurutnya, telah mencoba menisbahkan ghuluw (ekstremisme) dan takfīr (pengkafiran) kepada warisan Ibn Taimiyyah. Al-Jalayand menegaskan bahwa penisbahan ini adalah nisbah ghair syar‘iyyah (penisbahan yang tidak sah), dan berargumen bahwa Ibn Taimiyyah justru adalah ulama yang paling jauh dari praktik takfīr al-mu‘ayyan (mengkafirkan individu tertentu).
Dengan demikian, buku Al-Jalayand beroperasi sebagai pembelaan dua sisi. Ia berupaya memulihkan citra Ibn Taimiyyah, baik dari distorsi Mutakallimīn yang menilainya sebagai antropomorfis literal, maupun dari penyalahgunaan kaum Ghulāt (ekstremis) modern yang menjadikannya ikon takfīr. Tesis utamanya adalah bahwa pemahaman yang benar dan presisi atas manhaj ta’wīl Ibn Taimiyyah akan mementahkan kedua tuduhan tersebut secara simultan.
Dekonstruksi Ta’wīl: Analisis Filologis dan Evolusi Makna
Bagian fundamental dari argumen Al-Jalayand adalah dekonstruksi filologis atas istilah ta’wīl. Ia berpendapat bahwa keseluruhan krisis teologis berakar pada kegagalan kaum muta’akhkhirīn dalam memahami makna asli istilah ini sebagaimana digunakan dalam Al-Qur’an dan oleh generasi Salaf.
Pelacakan Makna Ta’wīl (Analisis Inti Al-Jalayand)
Al-Jalayand memulai analisisnya dengan melacak makna etimologis (lughawī) dari ta’wīl. Dengan merujuk pada leksikografer klasik seperti al-Azharī (w. 370 H) dalam Tahżīb al-Lughah dan Ibn Fāris (w. 395 H) dalam Maqāyis al-Lughah, ia menetapkan bahwa akar kata a-w-l (أول) secara konsisten bermuara pada makna al-rujū‘ (kembali), al-‘aqībah (konsekuensi/akibat akhir), atau al-masīr (realitas akhir/tujuan).
Dari landasan linguistik ini, Al-Jalayand beralih ke analisis penggunaannya dalam Al-Qur’an. Ia menunjukkan bahwa dalam setiap literasinya di dalam teks Qur’ani, ta’wīl tidak pernah sekalipun bermakna interpretasi alegoris atas teks. Sebaliknya, ia selalu merujuk pada al-ḥaqīqah al-khārijiyyah (realitas eksternal/faktual) atau pemenuhan/kejadian aktual yang dirujuk oleh sebuah perkataan atau visi.
Sebagai contoh:
Dalam Kisah Yusuf: Ta’wīl dari mimpi Yusuf tentang matahari, bulan, dan bintang yang bersujud bukanlah tafsiran atas mimpi itu. Ta’wīl-nya adalah kejadian faktual bertahun-tahun kemudian ketika saudara-saudara dan orang tuanya benar-benar bersujud kepadanya di dunia nyata. Yusuf berkata:...hāżā ta’wīlu ru’yāya min qablu... (Inilah ta’wīl mimpiku dahulu itu).
Dalam Teks Eskatologis: Ketika Al-Qur’an berbicara tentang Hari Kiamat, ia menyatakan Hal yanẓurūna illā ta’wīlahu, yawma ya’tī ta’wīluhu... (Mereka tidak menunggu-nunggu selain ta’wīl-nya [pemenuhannya]. Pada hari datangnya ta’wīl itu...). Ta’wīl di sini bukanlah penafsiran ayat kiamat, melainkan kejadian faktual dari Hari Kiamat itu sendiri.
Makna Ta’wīl di Era Salaf: Dualitas Konseptual
Berdasarkan penggunaan Qur’ani ini, Al-Jalayand memaparkan bahwa generasi Salaf (Sahabat dan Tābi‘īn) memahami dan menggunakan istilah ta’wīl dalam dua pengertian yang jelas berbeda, yang seringkali disalahpahami oleh generasi selanjutnya:
Makna 1: Sinonim dari Tafsīr (Penjelasan Makna)
Ini adalah ta’wīl yang diketahui dan diwajibkan untuk dicari oleh para ulama (al-Rāsikhūn fī al-‘Ilm). Dalam pengertian ini, ta’wīl berarti tafsīr (penjelasan), bayān (klarifikasi), dan īḍāḥ (penjelasan) atas apa yang dimaksud oleh sebuah teks. Inilah makna yang dimaksud dalam doa Nabi Muhammad untuk Ibn ‘Abbās, Ya Allah, fahamkanlah ia dalam agama dan ajarkanlah ia al-ta’wīl; yang disepakati maknanya sebagai al-tafsīr.
Makna 2: Al-Ḥaqīqah/Al-Kaiyfiyyah (Hakikat/Realitas/Kaifiyyāt)
Ini adalah ta’wīl yang tidak diketahui oleh manusia dan ilmunya diserahkan hanya kepada Allah. Dalam pengertian ini, ta’wīl merujuk pada makna Qur’ani aslinya, yaitu realitas faktual, esensi, atau kaifiyyah (bagaimana-nya) dari perkara-perkara ghaib (metafisik). Ini mencakup hakikat Sifat-sifat Allah (misalnya, kaifiyyah dari Istiwā’), hakikat nikmat surga, dan hakikat azab neraka.
Kegagalan membedakan antara Ta’wīl (Makna 1: Tafsir) yang diketahui dan Ta’wīl (Makna 2: Hakikat) yang tidak diketahui inilah yang menjadi sumber kebingungan teologis.
Titik Balik: Lahirnya Makna Iṣṭilāḥī (Terminologis) Muta’akhkhirīn
Al-Jalayand mengidentifikasi adanya pergeseran semantik besar-besaran (taṭawwur dalālī) pasca-era Salaf, di mana ta’wīl mendapatkan makna teknis (iṣṭilāḥī) ketiga yang baru dan muḥdaṡ (diinovasikan). Makna baru ini mendominasi diskursus Kalām dan Filsafat:
Makna 3 (Iṣṭilāḥī): Ṣarf al-Lafẓ ‘an Ẓāhirihi ilā Ma‘nā Ākhar
Ini adalah definisi teknis kaum muta’akhkhirīn (teolog belakangan) yang berarti memalingkan sebuah lafal dari makna ẓāhir (literal/hakikat)-nya ke makna lain (yakni, makna majāz/metafora) berdasarkan dalil yang dianggap rasional.
Al-Jalayand tidak menganggap makna baru ini muncul dari ruang hampa. Ia secara provokatif melacak struktur hermeneutika ini ke metodologi Bāṭiniyyah, Qarāmiṭah, dan Syī‘ah. Kelompok-kelompok ini membagi syariat menjadi ẓāhir (eksterior) yang dangkal untuk kaum awam, dan bāṭin (esoteris) yang tersembunyi untuk kaum elite (para Imām mereka). Bagi mereka, ta’wīl adalah proses mengungkap makna bāṭīn ini dengan mengabaikan atau membatalkan makna ẓāhir.
Al-Jalayand berargumen bahwa kaum Mutakallimūn (seperti Mu‘tazilah) dan para Filsuf, meskipun secara formal menolak Bāṭiniyyah, secara tidak sadar mengadopsi struktur hermeneutika Bāṭiniyyah ini. Mereka hanya mengganti makna batin yang diterima dari Imam dengan tuntutan akal (muqtaḍā al-‘aql) versi mereka sendiri.
Ketika seorang Mutakallim melakukan ta’wīl (Makna 3) pada Sifat Allah, misalnya, menafsirkan Istiwā’ (Bersemayam) sebagai Istawlā (Menguasai); ia, menurut Al-Jalayand dan Ibn Taimiyyah, secara metodologis mengulangi langkah Bāṭiniyyah: ia membatalkan makna ẓāhir (Bersemayam) dengan dalih bahwa itu tasybīh (antropomorfisme), demi makna bāṭin (Menguasai) yang dianggapnya lebih rasional. Inilah inovasi hermeneutika yang menjadi sasaran utama kritik Ibn Taimiyyah.
Kritik Ibn Taimiyyah terhadap Metodologi Ta’wīl Filosofis dan Kalām
Dengan landasan filologis tersebut, Al-Jalayand mendedikasikan sisa bukunya untuk memaparkan bagaimana Ibn Taimiyyah menggunakan pemahaman ta’wīl yang otentik (Makna 1 dan 2) untuk membongkar metodologi ta’wīl yang diinovasikan (Makna 3) oleh para penentangnya.
Pembongkaran Qānūn al-Ta’wīl (Hukum Universal Interpretasi)
Al-Jalayand mengidentifikasi bahwa kritik utama Ibn Taimiyyah adalah qānūn kullī (hukum universal) yang dirumuskan oleh teolog Asy‘ariyyah (terutama al-Rāzī dalam Asās al-Taqdīs).
Hukum ini menyatakan: Jika terjadi konflik (ta‘āruḍ) yang tampak antara dalil ‘aql (akal/rasio) yang dianggap qaṭ‘ī (definitif) dan dalil naql (wahyu/teks) yang dianggap ẓannī (spekulatif), maka ‘aql harus didahulukan (al-taqdīm), dan naql wajib di-ta’wīl (diinterpretasi secara alegoris) atau di-tafwīḍ (diserahkan maknanya).
Analisis Al-Jalayand ini secara langsung menyentuh inti dari magnum opus Ibn Taimiyyah, Dar’ Ta‘āruḍ al-‘Aql wa al-Naql (Menolak Kontradiksi antara Akal dan Wahyu). Dalam karya ini, Ibn Taimiyyah tidak berargumen bahwa naql secara membabi buta mengalahkan ‘aql, seperti yang sering dituduhkan. Sebaliknya, ia mendekonstruksi qānūn itu sendiri sebagai sesuatu yang cacat secara epistemologis.
Argumen Ibn Taimiyyah adalah:
Penolakan Premis Konflik: Konflik antara ‘aql ṣarīḥ (akal sehat/sound reason) dan naql ṣaḥīḥ (wahyu otentik) adalah mustaḥīl dan tidak pernah terjadi.
Kritik terhadap Definisi ‘Aql: Apa yang disebut ‘aql oleh para Mutakallimūn bukanlah akal sehat atau aksioma rasional, melainkan premis-premis rapuh dan spekulatif dari kalām Aristotelian (misalnya, argumen ḥudūṡ al-ajsām atau kebaruan aksiden untuk membuktikan Tuhan), yang justru ditolak oleh akal sehat.
Kritik terhadap Definisi Naql: Apa yang mereka anggap naql yang bermasalah seringkali adalah hadis lemah, hadis palsu, atau pemahaman yang salah atas teks yang ṣaḥīḥ.
Pembingkaian Ulang: Ibn Taimiyyah membingkai ulang seluruh perdebatan. Masalahnya bukanlah ‘Aql vs. Naql, melainkan (keduanya selaras dan saling mendukung) versus (keduanya keliru dan saling bertentangan).
Konfrontasi dengan Mu‘tazilah dan Filsuf
Al-Jalayand memaparkan bagaimana Mu‘tazilah, atas nama Tawḥīd dan Tanzīh (transendensi), menggunakan ta’wīl (Makna 3) secara sistematis untuk melakukan ta‘ṭīl (negasi) terhadap Sifat-sifat Allah. Mereka menolak Sifat seperti ‘Ilm (Pengetahuan) atau Qudrah (Kekuasaan) sebagai entitas yang berbeda dari Dzat, karena menganggapnya sebagai ‘araḍ (aksiden) yang akan menyerupakan Allah dengan makhluk.
Para Filsuf (terutama Ibn Sīnā) melangkah lebih jauh. Seperti yang ditunjukkan Al-Jalayand, mereka tidak hanya menggunakan ta’wīl untuk menegasi Sifat, tetapi juga untuk menegasi Ma‘ād al-Ajsād (kebangkitan jasmani). Mereka mengklaim bahwa teks-teks wahyu tentang siksa dan nikmat jasmani hanyalah rumūz wa alghāz (simbol dan teka-teki) atau takhyīl (representasi imajinatif) yang ditujukan untuk mendidik massa (ta‘līm al-jumhūr), sementara kebenaran filosofis yang sesungguhnya (bahwa kebangkitan hanya bersifat ruhani) adalah konsumsi eksklusif kaum elite.
Kritik Ibn Taimiyyah terhadap ini sangat mendasar. Sebagaimana dicatat oleh akademisi Wael Hallaq, Ibn Taimiyyah dalam karya-karyanya (seperti al-Radd ‘alā al-Manṭiqiyyīn) tidak hanya mengkritik hasil dari ta’wīl mereka. Dia menyerang sistem metafisik dan epistemologis di baliknya; yaitu, adopsi mereka atas logika Yunani dan metafisika Aristotelian, yang dia anggap sebagai akar dari segala distorsi teologis.
Polemik dengan Asy‘ariyyah: Antara Ta’wīl dan Tafwīḍ
Al-Jalayand secara khusus menyoroti teologi Asy‘ariyyah. Sementara pendiri mazhab, Abū al-Ḥasan al-Asy‘arī, dalam karyanya al-Ibānah (yang ditulis pasca-pertobatannya dari Mu‘tazilah), secara eksplisit mengafirmasi Sifat-sifat khabariyyah (seperti Istiwā’, Yad, Wajh) secara ḥaqīqah (literal, sesuai keagungan-Nya) dan menolak ta’wīl, generasi penerus mereka (khalaf), seperti al-Juwainī, al-Ghazālī, dan al-Rāzī, justru kembali mengadopsi metodologi ta’wīl (Makna 3) yang sama dengan yang digunakan Mu‘tazilah untuk Sifat-sifat tersebut.
Namun, pembelaan Al-Jalayand atas Ibn Taimiyyah ini harus ditempatkan dalam konteks perdebatan teologis yang sengit di mana Ibn Taimiyyah sendiri mendapat kritik tandingan yang sangat keras dari kubu Asy‘ariyyah, baik di masanya maupun di era modern.
Para ulama Asy‘ariyyah klasik yang sezaman dengan Ibn Taimiyyah tidak tinggal diam. Qāḍī Ibn Jahbal al-Kilabī (w. 733 H), misalnya, menulis bantahan langsung berjudul al-Radd ‘alā Man Qāla bi al-Jihah (Bantahan terhadap Orang yang Mengatakan Adanya Arah [bagi Allah]) sebagai respons spesifik terhadap al-Risālah al-Ḥamawiyyah karya Ibn Taimiyyah. Ibn Jahbal menuduh Ibn Taimiyyah telah jatuh ke dalam tasybīh (antropomorfisme) dengan menetapkan jihah (arah) secara literal bagi Allah, yang merupakan bid‘ah dan menyalahi konsensus Ahl al-Sunnah.
Kritik ini dilanjutkan oleh teolog Asy‘ariyyah modern terkemuka seperti Syaikh Sa‘īd Foudah. Dalam karyanya Naqd al-Risālah al-Tadmuriyyah (Kritik atas Risalah Palmyra), Foudah berargumen bahwa klaim Ibn Taimiyyah untuk mengikuti jalan tengah Salaf hanyalah kamuflase untuk tasybīh (penyerupaan) dan tajsīm (antropomorfisme). Foudah mengkritik Ibn Taimiyyah karena menetapkan atribut seperti tangan, mata, wajah, betis, gerakan, arah, perubahan, kontak spasial, dan batasan secara literal, yang menurut Foudah, adalah keyakinan yang tidak terkonsep (inconceivable) terkait Allah. Demikian pula, Syeikh al-Būṭī mengkritik klaim Salafi modern bahwa Salaf secara monolitik menolak ta’wīl.
Tulisan ini mencatat bahwa apa yang dianggap oleh Al-Jalayand dan Ibn Taimiyyah sebagai tanzīh (penyucian) sejati (yakni, menetapkan Sifat tanpa tamṡīl), justru dianggap oleh para kritikusnya sebagai tasybīh (penyerupaan) yang nyata. Titik perselisihan fundamentalnya terletak pada definisi literalisme dan antropomorfisme itu sendiri.
Masih Bersambung