Jumat, 21 November 2025

Maslamah bin Abdul Malik

Maslamah bin Abdul Malik berada di depan pasukan Muslim yang sedang mengepung sebuah benteng besar milik Romawi. Namun, benteng itu sulit ditaklukkan karena tingginya tembok dan tertutupnya semua akses menuju ke dalamnya, sehingga keberuntungan lebih memihak pasukan Romawi. Mereka melempari pasukan Muslim dari atas benteng, sehingga kelelahan para prajurit Muslim semakin bertambah.

Pada malam hari, salah satu prajurit Muslim mendapatkan sebuah ide yang tampak mustahil. Ia menyelinap sendirian hingga sampai ke gerbang benteng, lalu terus melubangi dan melubangi hingga berhasil membuat sebuah celah. Setelah itu ia kembali tanpa memberi tahu siapa pun.

Keesokan harinya, kaum Muslimin bersiap untuk bertempur seperti biasa. Sang pahlawan itu masuk melalui celah tersebut dan membuka pintu gerbang dari dalam. Pasukan Muslim pun menyerbu masuk dan memanjat tembok-tembok benteng. Tidak lama kemudian, pasukan Romawi mendengar suara takbir kaum Muslimin di atas tembok dan di dalam halaman benteng, dan kemenangan pun tercapai.

Setelah pertempuran, panglima Maslamah bin Abdul Malik mengumpulkan pasukan dan berseru dengan suara lantang, “Siapa yang membuat celah pada pintu benteng itu, hendaklah ia maju untuk kami beri penghargaan.”

Namun tidak ada seorang pun yang maju.

Ia mengulangi lagi, “Siapa yang membuat celah itu, hendaklah ia keluar.”
Tetap tidak ada seorang pun yang maju.

Keesokan harinya ia berdiri lagi dan mengulang seruannya seperti kemarin.
Tetap tidak ada seorang pun yang maju.

Pada hari ketiga, ia berdiri dan berkata, “Aku bersumpah kepada orang yang membuat celah itu, datanglah kepadaku kapan pun ia mau, siang atau malam.”

Ketika malam tiba dan sang panglima duduk di dalam tendanya, masuklah seorang lelaki yang menutupi wajahnya.

Maslamah berkata, “Apakah engkau pembuat celah itu?”

Lelaki itu menjawab, “Pembuat celah itu ingin menunaikan sumpah amirnya, tetapi ia memiliki tiga syarat sebelum memenuhi permintaan tersebut.”

Maslamah bertanya, “Apa saja?”

Lelaki itu berkata, “Engkau tidak boleh menanyakan namanya, tidak boleh meminta ia membuka wajahnya, dan tidak boleh memberikan hadiah kepadanya.”

Maslamah menjawab, “Baginya apa yang ia minta.”

Lalu lelaki itu berkata, “Akulah pembuat celah itu.” Setelah itu ia segera berbalik dan menghilang di antara tenda-tenda pasukan.

Maslamah pun berdiri dengan air mata memenuhi matanya dan berkata: “Di antara orang-orang mukmin itu ada yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah. Di antara mereka ada yang telah gugur dan ada pula yang menunggu, dan mereka tidak mengubah janjinya.” (Al-Ahzab: 23)

Jika amalmu tidak murni untuk Allah…
maka setiap bangunan yang engkau dirikan hanyalah kehancuran belaka.

Setelah itu Maslamah selalu berdoa dalam sujudnya: “Ya Allah, kumpulkan aku bersama pembuat celah itu… Ya Allah, kumpulkan aku bersama pembuat celah itu.”

Buatlah antara dirimu dan Allah sebuah amal rahasia yang dapat bermanfaat bagimu pada hari ketika harta dan anak-anak tidak lagi berguna.

📗 ‘Uyun al-Akhbar karya Ibn Qutaybah (741)

Aqidah Imam Ahmad #14

Aqidah Imam Ahmad #14

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ 

*Kajian Kitab: Pokok-pokok Aqidah (Ushulus Sunnah) Imam Ahmad* 
*Pemateri:* Ustadz Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawiy 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱 
*Pertemuan#14:* 28 Jumadil Awwal 1447 / 19 November 2025
*Tempat:* Masjid Al-Aziz - Jl. Soekarno Hatta no. 662 Bandung.
📖  | https://youtube.com/watch?v=MG2Efhr5JyA

*POKOK-POKOK SUNNAH MENURUT IMAM AHMAD BIN HANBAL RAHIMAHULLAH*

*Ushulus Sunnah - Imam Ahmad #14 | Bab-12: Iman Mencakup Ucapan dan Perbuatan*

Setelah memuji Allâh dan bershalawat atas Nabi-Nya, Ustadz mengawali kajian dengan mengingatkan kita untuk istiqomah dalam menuntut ilmu. 

Allah ﷻ mengingatkan kita dalam Surat Al-Hijr Ayat 99:

> وَٱعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأْتِيَكَ ٱلْيَقِينُ

> Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal).

Karena ilmu kita masih sedikit, semakin kita belajar, maka akan semakin merasa bodoh, jangan pernah berpuas diri. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda :

منهومان لا يشبعان منهوم في علم. لا يشبع، منهوم في دنيا لا يشبع 

Ada dua golongan manusia yang memiliki ambisi dan tidak pernah puas :

1). Orang yang memiliki semangat dalam menutut ilmu dia tidak merasa cukup dan puas
2). Orang yang ambisius kepada dunia dia tidak pernah merasa puas.”

(HR. Al Hakim dalam mustadrok dan dishahihkan oleh Asy Syaikh Muqbil Al wadi’iy rahimahullah sebagaimana dalam As Shahih Al Musnad (nomor hadits ke-51). 

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan:

> ‏العِلْمُ وَالعَمَلُ تَوْأَمَانِ أمُّهُمَا عُلُوُّ الهِمَّةِ، وَالجَهْلُ وَالبِطَالَةُ تَوْأَمَانِ أمُّهُمَا إِيْثَارُ الكَسْل

> Ilmu dan amal adalah dua anak kembar, ibunya adalah semangat yang tinggi. Kebodohan dan pengangguran adalah dua anak kembar pula, ibunya adalah menuruti kemalasan. (Bada’iul Fawaid: 3/747)

*📖 Imam Abu ‘Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal berkata:*

> وَالإِيمَانُ قَوْلٌ وَعَمَلٌ، يَزِيدُ وَيَنْقُصُ، كَمَا جَاءَ فِي الخَبَرِ: «أَكْمَلُ المُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا».

> Iman adalah ucapan dan perbuatan yang bisa bertambah dan berkurang, seperti dalam hadits: “Orang beriman yang paling sempurna imannya adalah yang paling mulia akhlaknya.”  

📃 *Penjelasan:* 

Imam Ahmad rahimahullah membahas permasalahan yang urgent yaitu iman, dengan alasan:

1. Iman adalah sumber kebahagian. Dan semua kebaikan, berasal dari iman. Allah ﷻ berfirman :

> وَٱلْعَصْرِ. إِنَّ ٱلْإِنسَٰنَ لَفِى خُسْرٍ. إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّٰلِحَٰتِ وَتَوَاصَوْا۟ بِٱلْحَقِّ وَتَوَاصَوْا۟ بِٱلصَّبْرِ 
 
> 1. Demi masa. 2. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, 3. kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.

Ayat ini menunjukkan bahwa orang-orang yang beriman (Beramal Shaleh) tidak akan merugi di dunia dan akherat. 

2. Kita butuh merawat iman kita, karena sifatnya yang naik dan turun. 

Tumbuhan saja perlu air dan dirawat, handphone saja perlu dicharge secara teratur, maka iman pun demikian, perlu dirawat dan dikontrol. 

3. Adanya kelompok-kelompok yang menyimpang dalam masalah iman, seperti Mu'tazilah, Khawarij dan Murjiah. 

- Khawarij dan Mu’tazilah. Mereka berkeyakinan bahwa iman itu satu paket, Jika hilang sebagian, maka hilang semuanya, maka pelaku dosa besar menurut mereka bukanlah seorang mukmin dan kekal di neraka. 
- Murjiah: Memiliki keyakinan bahwasanya iman cukup dengan pembenaran hati saja. Maka, amal bukanlah bagian dari iman.

Maka kita butuh lentera atau cahaya, agar tidak tersesat dalam kegelapan.

*1. Urgensi Iman*

*1. Iman adalah sumber kebahagian*

Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an Surat An-Nahl Ayat 97:

> مَنْ عَمِلَ صَٰلِحًا مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُۥ حَيَوٰةً طَيِّبَةً ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ

> Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.

Orang-orang yang beriman akan bahagia karena jika mereka ditimpa ujian berupa musibah, maka mereka akan bersabar dan jika diberi nikmat, mereka akan bersyukur. 

Dari Shuhaib, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

عَجَبًا لأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ

“Sungguh menakjubkan keadaan seorang mukmin. Seluruhnya urusannya itu baik. Ini tidaklah didapati kecuali pada seorang mukmin. Jika mendapatkan kesenangan, maka ia bersyukur. Itu baik baginya. Jika mendapatkan kesusahan, maka ia bersabar. Itu pun baik baginya.” (HR. Muslim, no. 2999)

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata:

"Orang yang bahagia adalah ahli tauhid". (Majmu Fatawa 9/29) 

Karena tauhid adalah dasar kebahagiaan dunia dan akhirat.

*2. Iman Mengantarkan ke Dalam Surga*

Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah Ayat 82:

> وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّٰلِحَٰتِ أُو۟لَٰٓئِكَ أَصْحَٰبُ ٱلْجَنَّةِ ۖ هُمْ فِيهَا خَٰلِدُونَ

> Dan orang-orang yang beriman serta beramal saleh, mereka itu penghuni surga; mereka kekal di dalamnya.

Maka kunci keamanan sebuah negeri atau bahkan keluarga, adalah iman. 

Dalam ayat ini, amal shaleh termasuk iman dan disebutkan secara khusus setelah iman, menunjukkan pentingnya beramal. 

Allah Ta’ala juga berfirman:

> إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ

> “Sesungguhnya orang yang berbuat syirik terhadap Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun” (QS. Al Maidah: 72).

*3. Faktor Utama Keamanan*

Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an Surat Al-An’am Ayat 82:

> ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَلَمْ يَلْبِسُوٓا۟ إِيمَٰنَهُم بِظُلْمٍ أُو۟لَٰٓئِكَ لَهُمُ ٱلْأَمْنُ وَهُم مُّهْتَدُونَ

> Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.

 *4. Keimanan adalah Kunci Pertolongan-Nya*

Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an Surat Ar-Rum ayat 47:

> وَكَانَ حَقًّا عَلَيْنَا نَصْرُ ٱلْمُؤْمِنِينَ

> Dan Kami selalu berkewajiban menolong orang-orang yang beriman.

Maka kunci solusi segala masalah baik rumah tangga, diri sendiri, bermasyarakat bahkan musuh, adalah iman.

Dalam ayat lainnya surat Muhammad ayat 7:

> يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنْ تَنْصُرُوا اللّٰهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ اَقْدَامَكُمْ ۝٧

> Wahai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.

*5. Orang-orang yang beriman adalah Wali Allah ﷻ*

Firman-Nya dalam Surat Yunus Ayat 62-63:

أَلَآ إِنَّ أَوْلِيَآءَ ٱللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ. ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَكَانُوا۟ يَتَّقُونَ 

> Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.

Dan sifat-sifat wali-wali Allah itu bahwa mereka adalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan mengikuti rasulNya, dan risalah yang dibawanya dari sisi Allah, dan mereka selalu bertakwa kepada Allah dengan melaksanakan perintah-perintahNya dan menjauhi larangan-laranganNYa.
Bukan orang yang bisa terbang, makan kaca, padahal dia ahli khurofat, syirik dan bid'ah, mereka bukan wali Allah tapi wali Syetan. 

*2. Definisi Iman*

*1. Iman Menurut Ahlussunnah wal Jama'ah*

Imam secara bahasa adalah Al-ikrar Al-Qalbi (penetapan hati): 
1. Keyakinan hati dengan membenarkan berita-berita dari Allah ﷻ. Seperti membenarkan Isi Al-Qur’an dan As-Sunnah. 
2. Amalan-amalan hati dengan tunduk terhadap perintah dan laranganNya. 

Iman secara Istilah: Iman adalah Ucapan dan perbuatan.

Imam Ahmad berkata,

الإيمان قول وعمل يزيد وينقص

“Iman adalah perkataan dan amalan, bisa bertambah dan berkurang.”

Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata, "telah sepakat ijma' Para sahabat dan para ulama, dan ulama yang kami berjumpa dengan mereka mereka mengatakan, iman adalah ucapan, perbuatan dan niat, Tidaklah cukup salah satu saja tanpa mencakup ketiga unsur yang lainnya”. (Syarah Ushul Itiqad Ahli Sunnah, Al Lalikai 5/886) 

Imam Al Bukhari Rahimahullah mengatakan,

لقيت أكثر من ألف رجل من أهل العلم أهل الحجاز ومكة والمدينة والكوفة والبصرة ……… أن الدين قول وعمل

“Aku bertemu lebih dari seribu ahli ilmu/ulama dari Hijaj, Mekah, Madinah, Kufah, Bashroh ……. (dan lain-lain yang banyak sekali) (bahwa mereka semua mengatakan) “Sesunggunya agama/iman adalah perkataan dan amal/perbuatan” (Lihat Syarh Ushul I’tiqod Ahlu Sunnah wal Jama’ah oleh Al Lalikai Hal. 317/I)

Ucapan dan perbuatan, jika dirinci akan mencakup lima hal:

- *Ucapan mencakup dua hal:*

*1. Ucapan Hati:* yaitu membenarkan tanpa keraguan. 
Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an Surat Al-Hujurat Ayat 15:

> إِنَّمَا ٱلْمُؤْمِنُونَ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ بِٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا۟ وَجَٰهَدُوا۟ بِأَمْوَٰلِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلصَّٰدِقُونَ

> Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar.

*2. Ucapan Lisan:* yaitu mengucapkan dua kalimat syahadat.

Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an Surat Al-Ahqaf Ayat 13:

> إِنَّ ٱلَّذِينَ قَالُوا۟ رَبُّنَا ٱللَّهُ ثُمَّ ٱسْتَقَٰمُوا۟ فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

> Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah", kemudian mereka tetap istiqamah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita.

- *Amalan mencakup tiga hal:*

*1. Amalan Hati:* seperti ikhlas, tawakal, roja', khauf dan lainnya.

Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an Surat Al-Anfal ayat 2:

> إِنَّمَا ٱلْمُؤْمِنُونَ ٱلَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ ٱللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ ءَايَٰتُهُۥ زَادَتْهُمْ إِيمَٰنًا وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ

> Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.

*2. Amalan lisan:* seperti baca Al-Qur'an, berdo'a dan berdzikir. 

Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an Surat Al-Ahzab Ayat 41-42:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱذْكُرُوا۟ ٱللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا. وَسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيلًا 

> Hai orang-orang yang beriman, berzdikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya diwaktu pagi dan petang.

*3. Amalan Anggota Badan:* seperti shalat, umrah, haji dan puasa. 

Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an Surat Al-Hajj Ayat 77:

> يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱرْكَعُوا۟ وَٱسْجُدُوا۟ وَٱعْبُدُوا۟ رَبَّكُمْ وَٱفْعَلُوا۟ ٱلْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ ۩

> Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.

Maka, iman adalah ucapan dan perbuatan:
1. Ucapan dengan hati dan lisan. 
2. Amalan dengan hati, lisan dan anggota badan. 

*2. Iman Menurut Kelompok-kelompok yang Menyimpang*

*1. Kelompok Khawarij dan Mu'tazilah*

Mereka berkeyakinan bahwa tidaklah dikatakan beriman kecuali orang yang membenarkan dengan hatinya, mengucapkan dengan lisannya, dan mengamalkan dengan anggota badannya. Namun bagi mereka, semuanya satu paket, jika hilang salah satunya, maka hilang semuanya secara total. 

Sehingga pelaku dosa besar menurut Khawarij bukanlah seorang mukmin (kafir), maka kekal di neraka. 

Sementara Mu’tazilah berpendapat bahwa hukum pelaku dosa besar telah keluar dari makna iman namun belum masuk dalam kekafiran. Dalam istilah mereka disebut manzilah baina manzilatain, yakni keadaan di antara dua keadaan (iman dan kufur). 

Namun keduanya sepakat bahwa barangsiapa yang melakukan dosa besar dan belum bertaubat sampai meninggal dunia maka orang tersebut kekal di neraka.

*2. Murjiah*

Kelompok ini bertingkat-tingkat :
1. Iman cukup dengan hati, ini kelompok yang paling sesat. Konsekuensinya, Fir'aun, Iblis, dan Abu Thalib beriman.
2. Iman hanya lisan saja (kelompok Karromiyyah), konsekuensinya Orang-orang Munafik berarti beriman.
3.  Paham yang menyatakan bahwa iman adalah ucapan lisan dan keyakinan hati. Ini pendapat Murji’ah yang paling ringan sesatnya, yang disebut dengan murjiatul fuqaha.

*3. Iman Bertambah dan Berkurang*

Hal ini merupakan ijma' Para ulama dan semua dalil yang menunjukkan pertambahan bermakna juga pengurangan, karena jika bisa bertambah berarti bisa berkurang. 

*1. Dalil-dalil dari Al-Qur'an*

Ada banyak ayat dalam Al-Qur’an, diantaranya:

فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ إِيمَانًا

“Karena itu takutlah kepada mereka”, maka perkataan itu menambah keimanan mereka.” (QS. Ali Imran: 173)

وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ ءَايَٰتُهُۥ زَادَتْهُمْ إِيمَٰنًا وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ

apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal. (QS. Al-Anfal ayat 2)

*2. Dalil-dalil dari As-Sunnah*

Dalam hadits dari Abu Hurairah disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

> الإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإِيمَانِ

> “Iman itu ada 70 atau 60 sekian cabang. Yang paling tinggi adalah perkataan ‘laa ilaha illallah’ (tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah), yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalanan, dan sifat malu merupakan bagian dari iman.” (HR. Bukhari no. 9 dan Muslim no. 35).

> عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لاَ يَزْنِي الزَّانِي حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلاَ يَسْرِقُ حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلاَ يَشْرَبُ حِينَ يَشْرَبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَالتَّوْبَةُ مَعْرُوضَةٌ بَعْدُ»

> Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , dia berkata: Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah beriman seorang pezina ketika ia sedang berzina. Tidaklah beriman seorang pencuri ketika ia sedang mencuri. Tidaklah beriman seorang peminum khamar ketika ia sedang meminum khamar. Namun taubat terbuka setelah itu”. [HR. Bukhari, no. 6810; Muslim, no. (57)-104]

Maknanya, seorang pezina atau pencuri melakukan kemaksiatan tersebut karena iman sedang turun, karena pelaku dosa besar tidaklah kafir. 

Imam Ahmad rahimahullah menyebut hadits, 

> أَكْمَلُ المُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا».

> “Orang beriman yang paling sempurna imannya adalah yang paling mulia akhlaknya.”   

Akmalu adalah bentuk isim tafdhil dari kata sifat أَكْمَلُ (akmalu) yang berarti "lebih sempurna" atau "paling sempurna". Ini menunjukkan bahwa iman memiliki tingkatan. 

*3. Ijma' Ulama*

Seperti perkataan Imam Syafi'i dan Imam Bukhari Rahimahumallah pada penjelasan di atas, kemudian ulama lain, seperti:

Imam Abu ‘Ubaid Al Qosim bin Abdis Salam (157-224 H) Rahimahullah mengatakan dalam kitabnya Al-Iman, lebih dari 130 ulama yang mengatakan bahwa iman itu bertambah dan berkurang. (Al Ibanah, Ibnu Bathin 2/814) 

Imam Ahmad bin Hanbal Rahimahullah mengatakan, telah sepakat 70 tabi'in dan para kaum muslimin bahwa iman itu bertambah dan berkurang, bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan. (Thobaqat Hanabilah, Ibnu Abi Ya'la 1/130) 

Sahl bin Mutawakil Asy-Syaibani mengatakan, saya bertemu 1000 Ustadz, bahkan lebih, semuanya mengatakan iman itu ucapan dan perbuatan, bertambah dan berkurang. (Syarah Ushul Itiqad, 5/963) 

Demikian juga kita akan merasakan bertambah dan berkurangnya iman. Keimanan seseorang tidaklah statis, melainkan dinamis, dipengaruhi oleh berbagai faktor internal seperti niat dan amal, serta faktor eksternal seperti lingkungan pergaulan dan apa yang dibaca atau didengarkan. Inilah yang akan dibahas dalam point selanjutnya. 

*4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Bertambah dan Berkurangnya Iman*

*1. Menuntut Ilmu Syar'i dan Mengamalkannya*

Inilah charging terbaik, yaitu dengan mengetahui ilmu dan mengamalkannya.

*2. Membaca Al-Qur’an*

Seperti diterangkan sebelumnya yaitu dalam surat Al-Anfal ayat 2: Jika dibacakan ayat-ayat-Nya, maka akan bertambah imannya.

Bahkan gunung yang keras mampu dihancurkan oleh Al-Qur'an, namun hati seseorang terkadang lebih keras daripada gunung. Dalam Surat Al-Hasyr ayat 21: _"Seandainya Kami turunkan Al-Qur'an ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah karena takut kepada Allah. Perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia agar mereka berpikir."_

*3. Mempelajari Sirah Nabi ﷺ*
Banyak aspek yang akan didapat dari belajar Shirah Nabi, antara lain:
- *Menambah cinta dan kecintaan kepada Nabi:* Dengan memahami kisah hidup beliau, dari suka duka hingga tantangan dakwah, seseorang akan merasa lebih dekat dan semakin mencintai Nabi ﷺ.
- *Memahami ajaran Islam secara mendalam:* Sirah Nabawiyah menunjukkan bagaimana ajaran Islam, yang tertulis dalam Al-Qur'an, dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari oleh Rasulullah. 
- *Menjadi teladan:* Sirah Nabi menyediakan teladan nyata untuk berbagai aspek kehidupan, mulai dari akhlak, ibadah, hingga interaksi sosial. Dengan meneladani beliau, seseorang dapat memperbaiki diri dan menjadi muslim yang lebih baik.
- *Memahami sumber syariat:* Sirah Nabi adalah sumber kedua dari ajaran Islam setelah Al-Qur'an. Mempelajarinya membantu memahami sunnah (segala perkataan, perbuatan, dan ketetapan Nabi) dan mempraktikkan ibadah dengan cara yang benar.

*4. Membaca Kisah-kisah Ulama*

Kisah-kisah mereka akan menjadi cermin bagi kita, kita tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan mereka.

Contoh kehebatan dan kesabaran ulama meliputi kesabaran dalam menuntut ilmu dalam menempuh perjalanan jauh serta kesungguhan belajar, dan kesabaran dalam menghadapi ujian hidup.

Seperti perjuangan Sumayyah dari keluarga Ammar dan Yasir yang disiksa dengan kejam karena mempertahankan tauhid. Demikian juga Zunairah, seorang budak muslimah yang penuh kesabaran dan ketabahan dalam menghadapi cobaan hingga buta, kita belum seperti Imam Ahmad rahimahullah yang dicambuk dan dipenjara, kita belum seperti imam Malik yang dilepas kukunya dan banyak kisah ulama yang menyayat hati.

*5. Memperbanyak Amal Shalih*

Baik berupa amalan hati, seperti tawakal, ikhlas, amalan lisan seperti membaca Al-Qur’an dan berdzikir serta dengan amalan badan seperti puasa dan shalat.

*6. Ingat Akhirat*

Oleh karenanya, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda mengingatkan kita semua:

أَكْثِرُوا ذِكْرَ هَادِمِ اللَّذَّاتِ

“Perbanyaklah oleh kalian mengingat penghancur kelezatan.”

Kita harus menanamkan pada diri kita semua bahwa kita di dunia ini hanyalah mampir sebentar, kita semua akan kembali kepada Allah. Namun, bekal apa yang sudah kita persiapkan untuk menghadap Allah?

*5. Faktor-faktor yang Dapat Menurunkan Iman*

*1. Kemaksiatan*

Yaitu berupa meninggalkan perintah seperti meninggalkan shalat, tidak berpuasa Ramadhan atau menerjang larangan, seperti berzina, mencuri, minum dan lainnya.

*2. Kejahilan*

Sebagaimana ilmu bisa menaikkan iman, maka kebodohan juga menurunkan iman. Betapa banyak orang yang makan riba, tanpa tahu itu dosa besar dikarenakan kejahilan.

*3. Teman-teman yang Buruk*

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan teman sebagai patokan terhadap baik dan buruknya agama seseorang. Oleh sebab itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada kita agar memilih teman dalam bergaul. Dalam sebuah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

> المرء على دين خليله فلينظر أحدكم من يخالل

> “Agama Seseorang sesuai dengan agama teman dekatnya. Hendaklah kalian melihat siapakah yang menjadi teman dekatnya.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah, no. 927)

*4. Cinta Dunia*

Semakin orang cinta dunia, akan semakin malas beribadah hingga berkurang keimanannya dan lalai dari akhirat.

Maka banyak perumpamaan yang disebut Nabi ﷺ tentang hinanya dunia agar kita tidak tertipu, seperti seekor sayap nyamuk, seperti bangkai kambing, seperti makanan yang masuk perut menjadi kotoran, dan seperti setetes air di jari dibandingkan lautan yang luas. 

*5. Lalai*

al-ghaflah (الغفلة) yang berarti lalai. Apabila seorang hamba lalai tentang tujuan untuk apa dia diciptakan, maka imannya pun akan melemah. 

Banyak ayat yang dengannya Allah Ta’ala mencela sifat lalai dalam kitab-Nya, dan memperingatkan dengan keras kepada orang-orang yang lalai. 

*Shalat adalah Bagian dari Iman*

Imam Ahmad rahimahullah berkata, siapa yang meninggalkan shalat maka dia kafir. Tidak ada amalan yang jika ditinggalkan menyebabkan kafir kecuali shalat. Siapa yang meninggalkannya maka dia kafir dan Allah ﷻ membolehkannya untuk dibunuh. 

Setiap orang yang meremehkan perkara shalat, berarti telah meremehkan agamanya. Seseorang memiliki bagian dalam Islam sebanding dengan penjagaannya terhadap shalat lima waktu. 

Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah Ayat 143:

> وَمَا كَانَ ٱللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَٰنَكُمْ ۚ

> dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu

Maksudnya adalah shalat.

Beliau mengatakan, jika meninggalkan shalat adalah kafir. Dan ini dikuatkan oleh banyak ulama seperti Syaikh Utsaimin Rahimahullah dalam risalah beliau berjudul ‘Hukmu Tarikish Sholah, Dalilnya dari hadits Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

> إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكَ الصَّلَاةِ

> Sesungguhnya (batas) antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat.

(HR. Muslim, no. 82)

*Catatan:*
1. Yang menjadi pembahasan para ulama adalah meninggalkan karena malas. Sebagian ulama tidak mengkafirkannya. Seperti meninggalkan kewajiban puasa, haji dan lainnya. Pendapat ini dikuatkan Syaikh Al-Albani Rahimahullah. 
2. Adapun jika mengingkarinya karena keyakinan bahwa shalat tidak wajib maka otomatis kafir. Tanpa perselisihan ulama. 
 3. Yang dimaksud meninggalkan shalat adalah keseluruhan atau sebagian besar (seperti hanya shalat Ied saja). 
4. Ini Hukum secara umum, tetapi hukum individual ditentukan hakim, karena berkonsekuensi yang banyak seperti cerai dengan istri, tidak mewarisi, tidak dikubur di kuburan muslim dll. 

Semoga Allah Ta’ala memudahkan kita untuk istiqomah dalam mengamalkan ilmu yang bermanfaat. Aamiin. 

•┈┈┈┈┈┈•❀❁✿❁❀•┈┈┈┈┈• 

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَمُ

_“Ya Allah, aku meminta pada-Mu agar dilindungi dari perbuatan syirik yang kuketahui dan aku memohon ampun pada-Mu dari dosa syirik yang tidak kuketahui”._

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم

Macam-Macam Zuhud dan Intinya.Apa Perbedaan Zuhud dan Wara'?

Macam-Macam Zuhud dan Intinya.
Apa Perbedaan Zuhud dan Wara'?
Hati Jenis Apa yang Tidak Zuhud dan Wara'?

Ibnul Qayyim menjelaskan aneka ragam zuhud dan inti dari zuhud, beliau berkata:

الزّهْد أَقسَام: زهد فِي الْحَرَام، وَهُوَ فرض عين، وزهد فِي الشُّبُهَات، وَهُوَ
بِحَسب مَرَاتِب الشُّبْهَة؛ فَإِن قويت التحقت بِالْوَاجِبِ، وَإِن ضعفت كَانَ مُسْتَحبا، وزهد فِي الفضول، وزهد فِيمَا لَا يَعْنِي من الْكَلَام وَالنَّظَر وَالسُّؤَال واللقاء وَغَيره، وزهد فِي النَّاس، وزهد فِي النَّفس بِحَيْثُ تهون عَلَيْهِ نَفسه فِي الله. وزهد جَامع لذَلِك كُله، وَهُوَ الزّهْد فِيمَا سوى الله وَفِي كل مَا شغلك عَنهُ. وَأفضل الزّهْد إخفاء الزّهْد، وأصعبه الزّهْد فِي الحظوظ.

"Zuhud itu ada beberapa macam: zuhud terhadap yang haram, ini merupakan kewajiban individu; zuhud terhadap syubuhat (hal-hal yang samar), ini tergantung derajat syubhat itu; jika syubhat itu kuat, maka zuhud menjadi wajib, dan jika syubhat itu lemah, maka zuhud dianjurkan; zuhud terhadap hal-hal yang lebih tidak dibutuhkan; zuhud terhadap apa yang tidak bermanfaat baik berupa ucapan, penglihatan, pertanyaan, pertemuan, dan sebagainya; zuhud terhadap manusia; zuhud terhadap diri sendiri, dimana diri sendiri menjadi tidak berarti di hadapan Tuhan; dan zuhud komprehensif yang mencakup semua ini, yaitu zuhud terhadap segala sesuatu selain Allah dan segala sesuatu yang memalingkan kamu dari-Nya. Zuhud yang terbaik adalah menyembunyikan zuhud itu sendiri, dan zuhud yang paling sulit adalah zuhud terhadap kesenangan duniawi".

Lalu beliau menjelaskan perbedaan zuhud dan wara':

وَالْفرق بَينه وَبَين الْوَرع أَن الزّهْد ترك مَالا ينفع فِي الْآخِرَة والورع ترك مَا يخْشَى ضَرَره فِي الْآخِرَة 

"Perbedaan antara zuhud dan wara' adalah: bahwa zuhud itu adalah meninggalkan apa yang tidak bermanfaat di akhirat, dan wara' itu adalah meninggalkan apa yang dikhawatirkan membahayakan di akhirat".[*]

Kemudian beliau memaparkan hati jenis apa yang tidak bisa zuhud dan wara':

وَالْقلب الْمُعَلق بالشهوات لَا يَصح لَهُ زهد وَلَا ورع.

"Hati yang terbelenggu pada syahwat, tidak akan bisa zuhud dan wara'".

📗Al-Fawaid (hal.170-171).

[*] Berdasarkan ini, maka zuhud lebih tinggi dari wara'.
📆25 Jumadal Ula 1447
✍️https://t.me/irsyadhasan_bin_isaansori4

Thariqah

Thariqah 

Telah berkata Syaikh Thariqah, Imam thaifah, Al Junayd bin Muhammad (Al Baghdadi) semoga Allah mensucikan ruhnya,

"Jalan itu semuanya tertutup, kecuali jalan orang yang menapaki atsar (warisan) An Nabi sholallohu'alaihiwasalam, karena Allah azza wa jalla berfirman, (demi Kemuliaan dan Keagungan Ku, seandainya kalian mendatangi Ku dari setiap jalan, dan meminta dibukakan pintu dari setiap jalan, tidaklah akan dibukakan pintu itu bagi mereka sampai mereka masuk di belakang mu - Nabi Muhammad sholallohu'alaihiwasalam)".

Thariqul Hijratain, Ibnul Qoyyim Al
 Jauziyah.
Ustadz prasetyo j hertanto

Hukum Solat Bolong-Bolong

Hukum Solat Bolong-Bolong

Menurut mazhab Malik, Syafi‘i, Abu Hanifah, dan mayoritas ulama salaf, orang yang meninggalkan salat karena malas tidak otomatis kafir. 

Karena itu, mereka menafsirkan hadis “Pembeda antara kita dan mereka adalah salat; siapa yang meninggalkannya maka ia telah kafir” sebagai kufur asghor, bukan kufur akbar.

Penafsiran ini punya dasar ilmiah yang kuat bagi siapa pun yang memperhatikan dalil-dalilnya, apalagi jika dilihat bersama dengan bukti-bukti lain yang menguatkan makna tersebut—bukan hanya satu dalil saja.

Di antara dalil pendukungnya adalah hadis Nabi ﷺ:
Ada lima salat yang Allah wajibkan atas hamba-hamba-Nya. Siapa yang melaksanakannya dengan baik tanpa meremehkannya sedikit pun, maka Allah memberikan janji akan memasukkannya ke surga. Tapi siapa yang datang dengan kondisi salatnya ada kekurangan karena ia meremehkannya, maka ia tidak memiliki janji apa pun di sisi Allah. Kalau Allah mau, Dia menyiksanya; dan kalau Allah mau, Dia mengampuninya. (Hadis sahih)

Poinnya:
Para ulama memahami bahwa dalam hadis ini, seseorang meninggalkan sebagian salat disebutkan diberi dua kemungkinan: disiksa atau diampuni.

Kalau orang itu dihukumi kafir, tentu tidak mungkin ada pilihan “diampuni”—karena kafir tidak mungkin dapat ampunan tanpa bertobat dari kekafirannya.

Karena itu, hadis ini menjadi penguat bahwa maksud hadis “maka ia telah kafir” adalah kafir kecil, bukan kafir besar yang mengeluarkan dari Islam.
ustadz reza

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyebutkan bahwa tafwidh lebih buruk daripada takwil

📚Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyebutkan bahwa tafwidh lebih buruk daripada takwil. Hal ini jika dilihat dari konsekuensi tafwidh itu sendiri. Karena muara dari perkataan ini adalah menuduh bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bodoh karena tidak mengetahui apa makna ayat-ayat sifat Allah yang beliau sampaikan. Padahal tugas beliau sebagai rasul adalah menyampaikan kepada umat apa-apa yang Allah wahyukan. Begitu juga konsekuensi dari perkataan ini menuduh bahwa sahabat dan salafus shalih bodoh tidak mengetahui makna dari ayat-ayat sifat dalam Qur'an. 

📚Adapun murid beliau, Imam Ibnul Qayyim rahimahullah, beliau menyebutkan bahwa takwil lebih buruk daripada tafwidh. Hal ini jika dilihat dari hakikat takwil itu sendiri yang zhahirnya berkata-kata tentang Allah tanpa dasar ilmu. Karena di sini muawwil mendatangkan makna baru dari nash, sedangkan mufawwidh tidak mendatangkan makna baru. 

📝Jadi tidak ada pententangan antara perkataan Ibnu Taimiyah dan perkataan Ibnul Qayyim di sini. Karena masing-masing perkataan dilihat dari konteks yang berbeda. 

📖Kedua maqalat ini (takwil dan tafwidh) saling sepakat bahwa zhahir nash tidak dimaksudkan. Kemudian memalingkan makna nash dari zhahirnya. Dan kedua maqalat ini merupakan metode yang dipakai untuk menta'thil sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala. 

|| Faedah dari guru kami Syaikh Dr. Shalih bin Yusuf ad-Duwaisy hafizhahullah di matkul tauhid asma' wa shifat.

ruqyah

Tanpa menjatuhkan dan dengan tetap menghormati pendapat yang dipilih pemilik akun ini hafidzahullah (kami pribadi tidak saling mengenal), kami hendak memberikan catatan terhadap tulisan beliau. Walaupun mungkin judul di SS terkait ruqyah masal, tulisan tsb juga mengulas ttg hukum ruqyah jarak jauh dengan suara terdengar di mana beliau hafidzahullah memilih pendapat tidak boleh disertai fatwa para sejumlah ulama yang diakui keilmuannya. Tulisan tersebut diposting guna mengkritisi poster acara ruqyah yang beliau lampirkan.

𝗥𝘂𝗾𝘆𝗮𝗵 𝗢𝗻𝗹𝗶𝗻𝗲 𝗩𝗶𝗮 𝗪𝗔 -atau sejenisnya-

Semester lalu, usai mata kuliah akidah, saya bertanya kepada syaikh Dr. Yasir ar-Raddadiy, dosen pengampu untuk mata kuliah tsb. Beliau pakar di bidang itu:

"Duktur, apa hukum ruqyah online. Misalnya saya di Madinah ini meruqyah orang sakit di Indonesia dengan wasilah video call."

"Adakah hal yang menjadikannya tidak boleh?" Tanya beliau balik.

"Ada pandangan yang menyatakan bahwa harus face to face secara langsung karena mesti ada hembusan nafas/tiupan tertuju pada pihak yang diruqyah"

"Ini terkait ruqyah, kan? kaidahnya adalah لا باس بالرقى ما لم تكن شركا Tak jadi soal tentang ruqyah selama tidak mengandung kesyirikan. Jadi terkait larangan sebagian ulama meruqyah via telpon itu tidak berdalil." Kata beliau.

Inilah salah satu pembahasan dalam dunia ruqyah, yaitu dengan gambaran seorang meruqyah dengan video/audio call WA/aplikasi lain -atau mungkin telpon biasa tanpa internet- di waktu yang sama namun berlainan tempat. Dengan demikian, pihak yang diruqyah mendengar secara langsung suara peruqyah. Dengan kata lain bukan mendengar rekaman suara.

𝗣𝗮𝗿𝗮 𝘂𝗹𝗮𝗺𝗮 𝘁𝗲𝗿𝗯𝗮𝗴𝗶 𝗺𝗲𝗻𝗷𝗮𝗱𝗶 𝗱𝘂𝗮 𝗽𝗲𝗻𝗱𝗮𝗽𝗮𝘁. 𝗣𝗼𝗶𝗻-𝗽𝗼𝗶𝗻𝗻𝘆𝗮 𝘀𝗲𝗯𝗮𝗴𝗮𝗶 𝗯𝗲𝗿𝗶𝗸𝘂𝘁:

1. Pihak pertama yang melarang hal tsb, sehingga ruqyah mesti berlangsung secara langsung dalam arti bhw peruqyah dan yang diruqyah mesti berada di waktu dan tempat yang sama, berhujjah bahwa demikian itu menyelisihi keterangan dari Nabi shallallahu alaihi wasallam. 

Terkait ini, jawaban pihak kedua adalah ruqyah masuk dalam bab thibb/kedokteran/terapi sehingga selama tidak mengandung hal terlarang, tentu diperbolehkan. Tentunya ruqyah via video/audio call WA tidak ada zaman Nabi shallallahu alaihi wasallam karena ini terkait perkembangan tekhnologi. Andai ada WA di zaman itu, lantas Nabi shallallahu alaihi wasallam tidak menggunakan WA untuk meruqyah, dan juga para sahabat, masih ada celah untuk disebut bid'ah, karena Nabi tidak melakukannya padahal ada kebutuhan untuk menggunakannya.

2. Pihak pertama mengklaim bahwa pada proses ruqyah mesti ada tiupan nafas atau semburan air ruqyah atau usapan pada pihak yang diruqyah. Dengan demikian, ruqyah online live tidak mengandung itu semua. 

Terkait ini jawaban dari pihak kedua yang membolehkan, apa yang disebutkan tersebut adalah kesempurnaan ruqyah, bukan syarat/rukun yang harus ada yang ketiadaannya menjadikan ruqyah tidak sah atau tidak boleh sama sekali. Artinya, menurut pihak kedua, tiupan dari peruqyah atau usapan pada badan pihak yang diruqyah adalah poin ideal yang jika tidak ada bukan bermakna ruqyah tidak berpengaruh. Sisi lain, pada ruqyah secara langsung face to face pun tidak mesti adanya tiupan.

3. Pada ruqyah online WA atau semacamnya secara langsung butuh niat meruqyah. 

Jawaban dari pihak kedua yang membolehkan, ruqyah online WA secara langsung tidak bertentangan dengan niat, sekaligus bukan penghalang niat. Peruqyah tinggal meniatkan bhw prosesi itu adalah ruqyah dengan niat keberkahan, begitu pula niat pihak yang diruqyah. WA bukan penghalang niat. 

4. Sisi lain, pihak kedua menyebutkan bahwa dari tajribah/pengalaman, tidak sedikit kesembuhan diraih dengan proses ruqyah WA online ini. Maslahat lainnya adalah, begitu banyak daerah/kampung yang tidak mengenal dakwah tauhid, tidak ada yang bisa meruqyah. Dengan wasilah ruqyah WA online, dengan tetap memperhatikan halal haram, ada maslahat yang bisa diraih atau setidaknya meminimalisir mudharat pada korban gangguan jin. Tentu ini terapan kaidah ما لا يؤخذ كله لا يترك كله "kebaikan yang tidak bisa digapai dengan sempurna, jangan ditinggalkan sama sekali." 

Syaikh Dr. Said Khatslan, salah satu ulama yang terkemuka dan disegani di Saudi sekaligus memilik jadwal kajian tetap di masjid Al-Haram mengatakan:

‏كذلك أيضا قراءة القرآن من قبل الراقي من غير نفث هي من أنواع الرقية وان كان ليس كالاولى حتى من عبر الهاتف يعتبر نوع من الرقية ومجربة ايضاً لان هذا القران بركته ولا حد لها حتى الرقية عبر الهاتف ليس هناك ما يمنع من صحة ذلك وهذه أيضا مجربة كما وجد الرقاة لها اثرا لذلك كما ذكرت لك وهذا من بركة القرآن العظيم

“Demikian juga, membaca Al-Qur’an oleh peruqyah (orang yang melakukan ruqyah) tanpa tiupan termasuk salah satu jenis ruqyah, meskipun tidak sebagus yang pertama dengan nafs. Bahkan melalui telepon pun tetap dianggap sebagai salah satu bentuk ruqyah dan telah terbukti. Karena Al-Qur’an memiliki berkah yang tidak terbatas, bahkan ruqyah melalui telepon tidak menghalangi keabsahannya, dan ini juga telah terbukti, sebagaimana para peruqyah menemukan pengaruhnya. Seperti yang saya sebutkan kepadamu, ini adalah bagian dari berkah Al-Qur’an yang agung.”

Jika ruqyah secara langsung bagi penderita gangguan jin tidak bisa digapai karena keterbatasan SDM/peruqyah dan awam terhadap agama, maka jangan meninggalkan total. Ruqyahlah secara online walaupun tidak seideal secara langsung. 

5. Hal yang disepakati pihak pertama dan kedua adalah ruqyah secara langsung, dalam arti peruqyah dan yang diruqyah berada di waktu dan tempat yang sama itu lebih afdhal, lebih bermanfaat.

𝗰𝗮𝘁𝗮𝘁𝗮𝗻: 

1. Ruqyah jarak jauh yang disepakati ketidakbolehannya adalah peruqyah di kota A membaca ayat dengan niat meruqyah seseorang yang ada di kota B tanpa ada wasilah komunikasi. Pihak yang diruqyah sama sekali tidak mendengar pihak yang meruqyah.

2. Ruqyah langsung face to face dengan adanya nafas atau mungkin sedikit semburan peruqyah ke klien itu lebih ideal dan utama. Lebih sempurna. Dibanding via telpon. Namun demikian, hal itu tidak wajib. Dengan kata lain, tidak ada keharusan mempersyaratkan adanya nafas/semburan dari peruqyah ke klien ruqyah. Andai itu harus/wajib, betapa maslahat ruqyah tidak bisa diraih banyak kaum muslimin yang berbeda tempat dan kesulitan menemui peruqyah.

3. Walaupun meruqyah face to face adalah kondisi ideal, namun banyak kondisi kita tidak bisa melakukan hal paling ideal dan sempurna. Tidak sedikit ruqyah via telpon juga terbukti ampuh dan ini pengalaman banyak peruqyah. Karena itu, ruqyah wasilah video call dengan tetap memperhatikan adab tetaplah wasilah kesembuhan mengingat Alquran mengandungi keberkahan. Sebagaimana pernyataan Syaikh Dr. Said Katslan yang kami kutip di atas.
____
Madinah, Jumat penuh keberkahan.
Ustadz yani fahriansyah

Kamis, 20 November 2025

ADA 3 DOA YANG TAK TERTOLAK

ADA 3 DOA YANG TAK TERTOLAK

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

ثلاثُ دَعواتٍ لا تُرَدُّ: دعوةُ الوالِدِ لِولدِهِ، ودعوةُ الصائِمِ، ودعوةُ المسافِرِ

"Ada tiga doa yang tidak tertolak: doa orang tua bagi anaknya, doa orang berpuasa, dan doa orang yang sedang bepergian jauh." (HR. Al-Baihaqi, dan dihasankan Al-Albani).
 
Dulu, Fudhail bin Iyadh merupakan salah satu ulama besar umat ini. Beliau sering kali berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk kebaikan anaknya yang bernama Ali, dengan mengucapkan: 

اللهم إني اجتهدت في تربية علي فلم أقدر فربه أنت لي

"Ya Allah, sungguh saya telah berusaha keras untuk mendidik Ali, tapi saya tidak juga mampu, maka didiklah dia untukku." 

Beliau senantiasa mengucapkan doa ini, hingga Abdullah bin Al-Mubarak rahimahullah mengatakan: 

"Manusia terbaik (di masanya) adalah Fudhail bin Iyadh, dan yang lebih baik lagi adalah anaknya, Ali."

Sedangkan Sufyan bin Uyainah berkata:

"Saya tidak pernah melihat seorang pun yang lebih takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala daripada Fudhail dan anaknya."

Doa kedua orang tua memiliki peran besar terhadap kesalehan anak-anak. Oleh sebab itu, hendaklah kita memperbanyak doa bagi mereka.

Betapa banyak doa yang mengubah kesulitan menjadi kemudahan dan membuka yang tertutup.

Betapa banyak doa yang memulangkan sesuatu yang hilang, mendekatkan hal yang jauh, memperbaiki yang rusak, dan mendatangkan petunjuk bagi yang tersesat.

Betapa banyak doa yang diucapkan oleh ayah ibu untuk anaknya, sehingga anak itu sekarang menjadi bahagia karena doa tersebut, lalu dengan itu ayah ibunya juga menjadi bahagia di dunia dan akhirat.

Ya Allah, karuniakanlah kepada kami dari sisi Engkau keturunan yang baik. Sungguh Engkau Maha Mendengarkan doa.

رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا

"Wahai Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami penyejuk mata dari pasangan dan keturunan kami, serta jadikanlah kami sebagai pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa."

Disadur dari salah satu artikel KonsultasiSyariah.com, salah satu website dakwah yang dikelola tim Yufid
Ustadz hendri syahrial

Cinta karena Allah

Cinta karena Allah itu seperti aroma harum yang menenangkan hati. Ia menjadikan jiwa orang-orang beriman penuh dengan kebaikan dan perhatian kepada saudara-saudaranya. Kasih sayang mereka tumbuh, kepedulian mereka menguat, dan nasihat mereka tentang kebenaran serta kesabaran menjadi semakin berarti. Hingga akhirnya, mereka bagaikan satu tubuh, satu bangunan yang kokoh dan saling menguatkan.

Karena itu, siapa yang tidak menemukan cinta karena Allah kepada saudaranya di dalam hatinya, maka hendaknya ia memeriksa kembali keimanannya.

Syaikh Dr. Shalih al-‘Ushaimi
ustadz reza

Rabu, 19 November 2025

MANAKAH YANG LEBIH DAHSYAT ADZABNYA, PELAKU MAKSIAT ATAU PELAKU BID'AH ??? ::


:: MANAKAH YANG LEBIH DAHSYAT ADZABNYA, PELAKU MAKSIAT ATAU PELAKU BID'AH ??? ::

سؤال :
أيهما أشد عذابا : العصاة أم المبتدعة ؟

Pertanyaan :
Manakah yang lebih dahsyat adzabnya, pelaku maksiat ataukah pelaku bid'ah ?

الجواب :
المبتدعة أشد ؛ لأن البدعة أشد من المعصية ، 
والبدعة أحب إلى الشيطان من المعصية ؛ 
لأن العاصي يتوب ، 
وأما المبتدع فقليلا ما يتوب ؛ 
لأنه يظن أنه على حق ،
بخلاف العاصي ؛ 
فإنه يعلم أنه عاص ، وأنه مرتكب لمعصية ،
أما المبتدع فإنه يرى أنه مطيع ، وأنه على طاعة،

Jawaban :
Pelaku bid'ah lebih dahsyat adzabnya, karena bid'ah lebih dahsyat daripada maksiat.
Bid'ah lebih disukai oleh syaithon daripada maksiat, karena pelaku maksiat masih diharapkan akan bertaubat sedangkan pelaku bid'ah sangat kecil kemungkinannya untuk bertaubat, karena ia mengira bahwa dirinya berada di atas kebenaran.
Berbeda dengan pelaku maksiat, ia mengetahui bahwa dirinya berbuat maksiat dan terjatuh dalam kemaksiatan.

Adapun pelaku bid'ah, ia mengira bahwa dirinya sedang melakukan ketaatan dan berada di atas ketaatan.

فلذلك صارت البدعة - والعياذ بالله - شرا من المعصية ، 
ولذلك يحذر السلف من مجالستة المبتدعة ؛ لأنهم يؤثرون على مجالستهم ، وخطرهم شديد.

Oleh karena itu, kebid'ahan kita berlindung kepada Allah darinya lebih buruk daripada kemaksiatan.
Maka dari itu, para Ulama Salaf memperingatkan untuk tidak bermajelis dengan pelaku bid'ah karena mereka akan memberikan pengaruh dalam majelis tersebut dan bahaya mereka sangat dahsyat.

ولا شك أن البدعة شر من المعصية ، وخطر المبتدع أشد على الناس من خطر العاصي ، ولهذا قال السلف : "اقتصاد في سنة خير من اجتهاد في بدعة".

{ كتاب الأجوبة المفيدة عن أسئلة المناهج الجديدة . 
للشيخ الدكتور صالح فوزان بن عبدالله الفوزان : ص 27 - 28 }

Tidak diragukan bahwa bid'ah lebih buruk daripada maksiat. Bahaya pelaku bid'ah terhadap manusia lebih dahsyat daripada bahaya pelaku maksiat.

Oleh karena itu, Ulama Salaf bertutur :
“Sederhana di atas sunnah itu lebih baik daripada bersungguh-sungguh di atas bid'ah.”

【 Kitab Al-Ajwibah Al-Mufidah 'an As-ilatil Manahij Al Jadidah | Syaikh Shalih Al Fauzan حفظه الله 】
https://www.facebook.com/share/p/1CXTfUvKQW/

Ibn Taimiyyah dan Ta’wīl (Bagian I)

Ibn Taimiyyah dan Ta’wīl (Bagian I)

Prolog
Akhir 2019 saat memulai perkuliahan doktoral, saya memulai 'hunting' buku karya Ibn Taimiyyah dan buku² tentangnya. Dari sekian wasilah untuk mendapatkannya, Gus Alfan Sewu Khumaidi adalah salah satu yang gigih membantu mendapatkan buku² (yang sepertinya) sulit untuk diperoleh dengan cara² konvensional. Beliau berkenan untuk 'blusukan' ke gang² sempit yang menjual buku² 'klasik'. Dan syukurnya, dengan harga yang masuk akal. Saya sangat terbantu dengan jerih payah beliau. Maturnuwun Gus!. Salah satu buku yang dibelikan adalah Qaḍiyyah al-Ta’wīl ‘inda al-Imām Ibn Taimiyyah (Persoalan Ta’wīl Menurut Imam Ibn Taimiyyah) karya Muḥammad al-Sayyid Al-Jalayand yang akan direview singkat kali ini. Buku setebal 408 halaman dan bersampul tebal (hard cover), Hanya seharga 50 ribu kala itu.

***

Buku ini menyajikan sebuah tesis sentral yang provokatif; bahwa isu hermeneutika, atau ta’wīl, bukanlah sekadar satu topik teologis di antara banyak topik lainnya dalam pemikiran Syaikh al-Islām. Sebaliknya, Al-Jalayand berargumen bahwa pemahaman mendalam atas qaḍiyyah al-ta’wīl merupakan al-miftāḥ al-ḥaqīqī (kunci sejati) untuk membuka dan memahami keseluruhan manhaj (metodologi) teologis Ibn Taimiyyah.
Bagi Al-Jalayand, penolakan keras Ibn Taimiyyah terhadap ta’wīl dalam pengertian terminologis muta’akhkhirīn (yakni dari para teolog Kalām dan filsuf) adalah fondasi di mana Ibn Taimiyyah membangun seluruh bangunan kritiknya terhadap Mutakallimūn, Filsuf, dan Sufi, serta pembelaan sistematisnya atas metodologi Salaf.

Metodologi yang digunakan Al-Jalayand bersifat analitis-historis dan filologis. Ia secara cermat melacak evolusi semantik dari istilah krusial ta’wīl; mulai dari penggunaannya dalam bahasa Arab pra-Islam, penggunaannya yang konsisten dalam Al-Qur’an, pemahamannya di era Salaf, hingga pergeseran maknanya yang radikal di tangan para Mutakallim. Al-Jalayand menunjukkan bahwa pergeseran makna inilah yang menjadi akar dari divergensi teologis yang tajam dalam sejarah pemikiran Islam.
Buku ini bukan sekadar sebuah analisis akademis yang netral. Sebagaimana yang tampak jelas dalam pengantar edisi kelima (terbit 2015), buku ini memiliki dua tujuan polemis yang mendesak dalam konteks kontemporer.

Pertama, inti dari buku ini (sejak edisi pertamanya) adalah pembelaan akademis terhadap metodologi Ibn Taimiyyah dari tuduhan klasik Mutakallimūn yang menuduhnya dengan tasybīh (antropomorfisme) dan tajsīm (literalisme korporeal) akibat penolakannya terhadap ta’wīl alegoris.

Kedua, Al-Jalayand secara eksplisit menyatakan dalam pengantar edisi baru bahwa ia menambahkan bab-bab baru untuk melawan al-tayyārāt al-ṡaqafiyyah al-mutasyaddidah (aliran-aliran budaya ekstremis) kontemporer. Aliran-aliran ini, menurutnya, telah mencoba menisbahkan ghuluw (ekstremisme) dan takfīr (pengkafiran) kepada warisan Ibn Taimiyyah. Al-Jalayand menegaskan bahwa penisbahan ini adalah nisbah ghair syar‘iyyah (penisbahan yang tidak sah), dan berargumen bahwa Ibn Taimiyyah justru adalah ulama yang paling jauh dari praktik takfīr al-mu‘ayyan (mengkafirkan individu tertentu).

Dengan demikian, buku Al-Jalayand beroperasi sebagai pembelaan dua sisi. Ia berupaya memulihkan citra Ibn Taimiyyah, baik dari distorsi Mutakallimīn yang menilainya sebagai antropomorfis literal, maupun dari penyalahgunaan kaum Ghulāt (ekstremis) modern yang menjadikannya ikon takfīr. Tesis utamanya adalah bahwa pemahaman yang benar dan presisi atas manhaj ta’wīl Ibn Taimiyyah akan mementahkan kedua tuduhan tersebut secara simultan.

Dekonstruksi Ta’wīl: Analisis Filologis dan Evolusi Makna
Bagian fundamental dari argumen Al-Jalayand adalah dekonstruksi filologis atas istilah ta’wīl. Ia berpendapat bahwa keseluruhan krisis teologis berakar pada kegagalan kaum muta’akhkhirīn dalam memahami makna asli istilah ini sebagaimana digunakan dalam Al-Qur’an dan oleh generasi Salaf.

Pelacakan Makna Ta’wīl (Analisis Inti Al-Jalayand)
Al-Jalayand memulai analisisnya dengan melacak makna etimologis (lughawī) dari ta’wīl. Dengan merujuk pada leksikografer klasik seperti al-Azharī (w. 370 H) dalam Tahżīb al-Lughah dan Ibn Fāris (w. 395 H) dalam Maqāyis al-Lughah, ia menetapkan bahwa akar kata a-w-l (أول) secara konsisten bermuara pada makna al-rujū‘ (kembali), al-‘aqībah (konsekuensi/akibat akhir), atau al-masīr (realitas akhir/tujuan).
Dari landasan linguistik ini, Al-Jalayand beralih ke analisis penggunaannya dalam Al-Qur’an. Ia menunjukkan bahwa dalam setiap literasinya di dalam teks Qur’ani, ta’wīl tidak pernah sekalipun bermakna interpretasi alegoris atas teks. Sebaliknya, ia selalu merujuk pada al-ḥaqīqah al-khārijiyyah (realitas eksternal/faktual) atau pemenuhan/kejadian aktual yang dirujuk oleh sebuah perkataan atau visi.

Sebagai contoh:
Dalam Kisah Yusuf: Ta’wīl dari mimpi Yusuf tentang matahari, bulan, dan bintang yang bersujud bukanlah tafsiran atas mimpi itu. Ta’wīl-nya adalah kejadian faktual bertahun-tahun kemudian ketika saudara-saudara dan orang tuanya benar-benar bersujud kepadanya di dunia nyata. Yusuf berkata:...hāżā ta’wīlu ru’yāya min qablu... (Inilah ta’wīl mimpiku dahulu itu).
Dalam Teks Eskatologis: Ketika Al-Qur’an berbicara tentang Hari Kiamat, ia menyatakan Hal yanẓurūna illā ta’wīlahu, yawma ya’tī ta’wīluhu... (Mereka tidak menunggu-nunggu selain ta’wīl-nya [pemenuhannya]. Pada hari datangnya ta’wīl itu...). Ta’wīl di sini bukanlah penafsiran ayat kiamat, melainkan kejadian faktual dari Hari Kiamat itu sendiri.

Makna Ta’wīl di Era Salaf: Dualitas Konseptual
Berdasarkan penggunaan Qur’ani ini, Al-Jalayand memaparkan bahwa generasi Salaf (Sahabat dan Tābi‘īn) memahami dan menggunakan istilah ta’wīl dalam dua pengertian yang jelas berbeda, yang seringkali disalahpahami oleh generasi selanjutnya:

Makna 1: Sinonim dari Tafsīr (Penjelasan Makna)
Ini adalah ta’wīl yang diketahui dan diwajibkan untuk dicari oleh para ulama (al-Rāsikhūn fī al-‘Ilm). Dalam pengertian ini, ta’wīl berarti tafsīr (penjelasan), bayān (klarifikasi), dan īḍāḥ (penjelasan) atas apa yang dimaksud oleh sebuah teks. Inilah makna yang dimaksud dalam doa Nabi Muhammad untuk Ibn ‘Abbās, Ya Allah, fahamkanlah ia dalam agama dan ajarkanlah ia al-ta’wīl; yang disepakati maknanya sebagai al-tafsīr.

Makna 2: Al-Ḥaqīqah/Al-Kaiyfiyyah (Hakikat/Realitas/Kaifiyyāt)
Ini adalah ta’wīl yang tidak diketahui oleh manusia dan ilmunya diserahkan hanya kepada Allah. Dalam pengertian ini, ta’wīl merujuk pada makna Qur’ani aslinya, yaitu realitas faktual, esensi, atau kaifiyyah (bagaimana-nya) dari perkara-perkara ghaib (metafisik). Ini mencakup hakikat Sifat-sifat Allah (misalnya, kaifiyyah dari Istiwā’), hakikat nikmat surga, dan hakikat azab neraka.
Kegagalan membedakan antara Ta’wīl (Makna 1: Tafsir) yang diketahui dan Ta’wīl (Makna 2: Hakikat) yang tidak diketahui inilah yang menjadi sumber kebingungan teologis.

Titik Balik: Lahirnya Makna Iṣṭilāḥī (Terminologis) Muta’akhkhirīn
Al-Jalayand mengidentifikasi adanya pergeseran semantik besar-besaran (taṭawwur dalālī) pasca-era Salaf, di mana ta’wīl mendapatkan makna teknis (iṣṭilāḥī) ketiga yang baru dan muḥdaṡ (diinovasikan). Makna baru ini mendominasi diskursus Kalām dan Filsafat:

Makna 3 (Iṣṭilāḥī): Ṣarf al-Lafẓ ‘an Ẓāhirihi ilā Ma‘nā Ākhar
Ini adalah definisi teknis kaum muta’akhkhirīn (teolog belakangan) yang berarti memalingkan sebuah lafal dari makna ẓāhir (literal/hakikat)-nya ke makna lain (yakni, makna majāz/metafora) berdasarkan dalil yang dianggap rasional.
Al-Jalayand tidak menganggap makna baru ini muncul dari ruang hampa. Ia secara provokatif melacak struktur hermeneutika ini ke metodologi Bāṭiniyyah, Qarāmiṭah, dan Syī‘ah. Kelompok-kelompok ini membagi syariat menjadi ẓāhir (eksterior) yang dangkal untuk kaum awam, dan bāṭin (esoteris) yang tersembunyi untuk kaum elite (para Imām mereka). Bagi mereka, ta’wīl adalah proses mengungkap makna bāṭīn ini dengan mengabaikan atau membatalkan makna ẓāhir.

Al-Jalayand berargumen bahwa kaum Mutakallimūn (seperti Mu‘tazilah) dan para Filsuf, meskipun secara formal menolak Bāṭiniyyah, secara tidak sadar mengadopsi struktur hermeneutika Bāṭiniyyah ini. Mereka hanya mengganti makna batin yang diterima dari Imam dengan tuntutan akal (muqtaḍā al-‘aql) versi mereka sendiri.
Ketika seorang Mutakallim melakukan ta’wīl (Makna 3) pada Sifat Allah, misalnya, menafsirkan Istiwā’ (Bersemayam) sebagai Istawlā (Menguasai); ia, menurut Al-Jalayand dan Ibn Taimiyyah, secara metodologis mengulangi langkah Bāṭiniyyah: ia membatalkan makna ẓāhir (Bersemayam) dengan dalih bahwa itu tasybīh (antropomorfisme), demi makna bāṭin (Menguasai) yang dianggapnya lebih rasional. Inilah inovasi hermeneutika yang menjadi sasaran utama kritik Ibn Taimiyyah.

Kritik Ibn Taimiyyah terhadap Metodologi Ta’wīl Filosofis dan Kalām
Dengan landasan filologis tersebut, Al-Jalayand mendedikasikan sisa bukunya untuk memaparkan bagaimana Ibn Taimiyyah menggunakan pemahaman ta’wīl yang otentik (Makna 1 dan 2) untuk membongkar metodologi ta’wīl yang diinovasikan (Makna 3) oleh para penentangnya.

Pembongkaran Qānūn al-Ta’wīl (Hukum Universal Interpretasi)
Al-Jalayand mengidentifikasi bahwa kritik utama Ibn Taimiyyah adalah qānūn kullī (hukum universal) yang dirumuskan oleh teolog Asy‘ariyyah (terutama al-Rāzī dalam Asās al-Taqdīs).
Hukum ini menyatakan: Jika terjadi konflik (ta‘āruḍ) yang tampak antara dalil ‘aql (akal/rasio) yang dianggap qaṭ‘ī (definitif) dan dalil naql (wahyu/teks) yang dianggap ẓannī (spekulatif), maka ‘aql harus didahulukan (al-taqdīm), dan naql wajib di-ta’wīl (diinterpretasi secara alegoris) atau di-tafwīḍ (diserahkan maknanya).
Analisis Al-Jalayand ini secara langsung menyentuh inti dari magnum opus Ibn Taimiyyah, Dar’ Ta‘āruḍ al-‘Aql wa al-Naql (Menolak Kontradiksi antara Akal dan Wahyu). Dalam karya ini, Ibn Taimiyyah tidak berargumen bahwa naql secara membabi buta mengalahkan ‘aql, seperti yang sering dituduhkan. Sebaliknya, ia mendekonstruksi qānūn itu sendiri sebagai sesuatu yang cacat secara epistemologis.
Argumen Ibn Taimiyyah adalah:
Penolakan Premis Konflik: Konflik antara ‘aql ṣarīḥ (akal sehat/sound reason) dan naql ṣaḥīḥ (wahyu otentik) adalah mustaḥīl dan tidak pernah terjadi.
Kritik terhadap Definisi ‘Aql: Apa yang disebut ‘aql oleh para Mutakallimūn bukanlah akal sehat atau aksioma rasional, melainkan premis-premis rapuh dan spekulatif dari kalām Aristotelian (misalnya, argumen ḥudūṡ al-ajsām atau kebaruan aksiden untuk membuktikan Tuhan), yang justru ditolak oleh akal sehat.
Kritik terhadap Definisi Naql: Apa yang mereka anggap naql yang bermasalah seringkali adalah hadis lemah, hadis palsu, atau pemahaman yang salah atas teks yang ṣaḥīḥ.
Pembingkaian Ulang: Ibn Taimiyyah membingkai ulang seluruh perdebatan. Masalahnya bukanlah ‘Aql vs. Naql, melainkan (keduanya selaras dan saling mendukung) versus (keduanya keliru dan saling bertentangan).

Konfrontasi dengan Mu‘tazilah dan Filsuf
Al-Jalayand memaparkan bagaimana Mu‘tazilah, atas nama Tawḥīd dan Tanzīh (transendensi), menggunakan ta’wīl (Makna 3) secara sistematis untuk melakukan ta‘ṭīl (negasi) terhadap Sifat-sifat Allah. Mereka menolak Sifat seperti ‘Ilm (Pengetahuan) atau Qudrah (Kekuasaan) sebagai entitas yang berbeda dari Dzat, karena menganggapnya sebagai ‘araḍ (aksiden) yang akan menyerupakan Allah dengan makhluk.
Para Filsuf (terutama Ibn Sīnā) melangkah lebih jauh. Seperti yang ditunjukkan Al-Jalayand, mereka tidak hanya menggunakan ta’wīl untuk menegasi Sifat, tetapi juga untuk menegasi Ma‘ād al-Ajsād (kebangkitan jasmani). Mereka mengklaim bahwa teks-teks wahyu tentang siksa dan nikmat jasmani hanyalah rumūz wa alghāz (simbol dan teka-teki) atau takhyīl (representasi imajinatif) yang ditujukan untuk mendidik massa (ta‘līm al-jumhūr), sementara kebenaran filosofis yang sesungguhnya (bahwa kebangkitan hanya bersifat ruhani) adalah konsumsi eksklusif kaum elite.
Kritik Ibn Taimiyyah terhadap ini sangat mendasar. Sebagaimana dicatat oleh akademisi Wael Hallaq, Ibn Taimiyyah dalam karya-karyanya (seperti al-Radd ‘alā al-Manṭiqiyyīn) tidak hanya mengkritik hasil dari ta’wīl mereka. Dia menyerang sistem metafisik dan epistemologis di baliknya; yaitu, adopsi mereka atas logika Yunani dan metafisika Aristotelian, yang dia anggap sebagai akar dari segala distorsi teologis.

Polemik dengan Asy‘ariyyah: Antara Ta’wīl dan Tafwīḍ
Al-Jalayand secara khusus menyoroti teologi Asy‘ariyyah. Sementara pendiri mazhab, Abū al-Ḥasan al-Asy‘arī, dalam karyanya al-Ibānah (yang ditulis pasca-pertobatannya dari Mu‘tazilah), secara eksplisit mengafirmasi Sifat-sifat khabariyyah (seperti Istiwā’, Yad, Wajh) secara ḥaqīqah (literal, sesuai keagungan-Nya) dan menolak ta’wīl, generasi penerus mereka (khalaf), seperti al-Juwainī, al-Ghazālī, dan al-Rāzī, justru kembali mengadopsi metodologi ta’wīl (Makna 3) yang sama dengan yang digunakan Mu‘tazilah untuk Sifat-sifat tersebut.
Namun, pembelaan Al-Jalayand atas Ibn Taimiyyah ini harus ditempatkan dalam konteks perdebatan teologis yang sengit di mana Ibn Taimiyyah sendiri mendapat kritik tandingan yang sangat keras dari kubu Asy‘ariyyah, baik di masanya maupun di era modern.
Para ulama Asy‘ariyyah klasik yang sezaman dengan Ibn Taimiyyah tidak tinggal diam. Qāḍī Ibn Jahbal al-Kilabī (w. 733 H), misalnya, menulis bantahan langsung berjudul al-Radd ‘alā Man Qāla bi al-Jihah (Bantahan terhadap Orang yang Mengatakan Adanya Arah [bagi Allah]) sebagai respons spesifik terhadap al-Risālah al-Ḥamawiyyah karya Ibn Taimiyyah. Ibn Jahbal menuduh Ibn Taimiyyah telah jatuh ke dalam tasybīh (antropomorfisme) dengan menetapkan jihah (arah) secara literal bagi Allah, yang merupakan bid‘ah dan menyalahi konsensus Ahl al-Sunnah.
Kritik ini dilanjutkan oleh teolog Asy‘ariyyah modern terkemuka seperti Syaikh Sa‘īd Foudah. Dalam karyanya Naqd al-Risālah al-Tadmuriyyah (Kritik atas Risalah Palmyra), Foudah berargumen bahwa klaim Ibn Taimiyyah untuk mengikuti jalan tengah Salaf hanyalah kamuflase untuk tasybīh (penyerupaan) dan tajsīm (antropomorfisme). Foudah mengkritik Ibn Taimiyyah karena menetapkan atribut seperti tangan, mata, wajah, betis, gerakan, arah, perubahan, kontak spasial, dan batasan secara literal, yang menurut Foudah, adalah keyakinan yang tidak terkonsep (inconceivable) terkait Allah. Demikian pula, Syeikh al-Būṭī mengkritik klaim Salafi modern bahwa Salaf secara monolitik menolak ta’wīl.
Tulisan ini mencatat bahwa apa yang dianggap oleh Al-Jalayand dan Ibn Taimiyyah sebagai tanzīh (penyucian) sejati (yakni, menetapkan Sifat tanpa tamṡīl), justru dianggap oleh para kritikusnya sebagai tasybīh (penyerupaan) yang nyata. Titik perselisihan fundamentalnya terletak pada definisi literalisme dan antropomorfisme itu sendiri.

Masih Bersambung

Seorang penuntut ilmu Uṣhūl Fiqh perlu mengembangkan beberapa kemampuan penting:

Seorang penuntut ilmu Uṣhūl Fiqh perlu mengembangkan beberapa kemampuan penting:

1) Fondasi dan Kerangka Berpikir
Yaitu kemampuan menyusun, merumuskan, dan menata kaidah-kaidah hukum.
Ada banyak karya yang membahas hal ini, dan yang paling komprehensif adalah Jamʿul-Jawāmiʿ.

2) Ketepatan Ungkapan
Yaitu kemampuan menjelaskan istilah dan definisi ushul dengan jelas, padat, dan tepat sasaran.
Contoh terbaik untuk tujuan ini adalah al-Fawāʾid al-Saniyyah karya al-Birmāwī.

3) Ketajaman Analisis
Yaitu kemampuan membedakan isu-isu yang mirip, menelaah perbedaan halus, dan menganalisis dengan cermat.
Di antara karya paling kuat dalam hal ini adalah Nafāʾis al-Uṣhūl karya al-Qarāfī.

4) Kedalaman Wawasan
Yaitu memperluas pemahaman melalui paparan diskusi yang lebih luas dan metode yang beragam dari para ulama.
Dua kitab yang sangat menonjol dalam hal ini adalah al-Baḥrul Muḥīṭh karya al-Zarkashī dan al-Taḥbīr karya al-Mardāwī.

5) Penguatan Argumen dan Dalil
Yaitu belajar bagaimana menyusun dan menguatkan kaidah ushul dengan dalil yang benar dan argumentasi yang kuat.
Tiga karya terbaik dalam aspek ini adalah:

● Bidāyat al-Mujtahid karya Ibn Rusyd,
● Iḥkāmul-Aḥkām, syarah ʿUmdatul-Aḥkām karya Ibnu Daqīq al-ʿĪd,
● dan Mukhtaṣhar at-Tirmidzī, yang menunjukkan penerapan kaidah ushul secara praktis.

6) Penerapan dalam Furu’
Yaitu melatih diri menerapkan kaidah ushul pada masalah-masalah fikih nyata (takhrīj al-furūʿ ʿalāl-uṣhūl).
Hal ini dibahas dalam berbagai karya fikih perbandingan dan ushul terapan tingkat lanjutan.

Wallahu a'lam

Nikâh itu riqqun nisâ' (perbudakan wanita), maka hendaklah seorang wanita melihat di sisi siapa ia meletakkan perbudakan dirinya

Asmâ' bintu Abiy Bakr radhiyallâhu 'anhumâ berkata:

"Nikâh itu riqqun nisâ' (perbudakan wanita), maka hendaklah seorang wanita melihat di sisi siapa ia meletakkan perbudakan dirinya."

[Bahjatul Majâlis Wa Unsul Majâlis 1/183]

Kekeliruan, kritik, dan saran terkait terjemahan sampaikan pada penerjemah

FB Penerjemah: Dihyah Abdussalam 
IG Penerjemah: @mencari_jalan_hidayah

Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata:

Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata:

إِنَّ الْفَقِيهَ حَقَّ الْفَقِيهِ، مَنْ لَمْ يُقَنِّطِ النَّاسَ مِنْ رَحْمَةِ الله، وَلَمْ يُرَخِّصْ لَهُمْ فِي مَعَاصِي الله، وَلَمْ يُؤَمِّنْهُمْ مِنْ عَذَابِ الله، وَلَمْ يَدَعِ الْقُرْآنَ رَغْبَةً عنْهُ إِلَى غَيْرِهِ، إِنَّهُ لَا خَيْرَ فِي عِبَادَةٍ لَا عِلْمَ فِيهَا، وَلَا عِلْمٍ لَا فَهْمَ فِيهِ، وَلَا قِرَاءَةٍ لَا تَدَبُّرَ فِيهَا

“Orang yang benar-benar disebut faqih adalah orang yang tidak membuat manusia putus harapan dari rahmat Allah, tidak memberi celah bagi mereka untuk bermaksiat, tidak membuat mereka merasa aman dari azab Allah, dan tidak meninggalkan Al-Qur’an demi mengikuti selainnya. Sebab, tidak ada kebaikan dalam ibadah tanpa ilmu, tidak ada manfaat ilmu tanpa pemahaman, dan tidak ada nilai dalam membaca Al-Qur’an tanpa tadabbur.”
Ustadz didik suyadi 

Dalam 40th terakhir tercatat ada 35 lulusan doktoral (S3) universitas Islam Madinah asal Indonesia, sebagian pernah menjadi pengajar resmi Masjid Nabawi. Hafidzakumullahu

Dalam 40th terakhir tercatat ada 35 lulusan doktoral (S3) universitas Islam Madinah asal Indonesia, sebagian pernah menjadi pengajar resmi Masjid Nabawi. Hafidzakumullahu

Berubatlah dengan susu lembu, kerana aku berharap Allah menjadikan padanya penyembuhan. Sesungguhnya lembu itu memakan dari setiap jenis pokok

Rasulullah ﷺ bersabda:

"Berubatlah dengan susu lembu, kerana aku berharap Allah menjadikan padanya penyembuhan. Sesungguhnya lembu itu memakan dari setiap jenis pokok."

(Status hadis: Hasan Sahih, Sahih al-Jami‘, no. 2929)
ustadz ibnu salam 

Takwa Bukan Sekedar Ucapan

Takwa Bukan Sekedar Ucapan

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata:

ليست التقوى أقوالا تُقال، ولا دعاوى تدعى،
إنما التقوى إنابة في القلب، وإصلاح في العمل

“Takwa itu bukan sekadar ucapan-ucapan yang dikatakan, bukan pula klaim-klaim yang hanya diaku-aku. Sesungguhnya takwa itu adalah kembali (kepada Allah) dari hati dan memperbaiki amal perbuatan.”

[Adh-Dhiya’ al-Lami‘, Jilid 3, hal 384]
ustadz muadz mukhadasin

SORBAN DAN TONGKAT

SORBAN DAN TONGKAT

Ada suatu kelompok yang memiliki ciri khas yang membedakan dengan mayoritas kaum muslimin yang lainnya. Yakni senantiasa memakai sorban yang melilit melingkar dikepalanya dan kemana-mana membawa tongkat. Dan mereka menyakini bahwa itu adalah sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. 

Betulkah klaim mereka tentang memakai sorban dan memakai tongkat kemana-mana adalah sunnah Nabi shallallahu alaihi wasallam?

PERTAMA, Tentang Memakai Tongkat.

Kalau memakai tongkat ketika khutbah, ini ada perbedaan pendapat para ulama. Namun memakai tongkat kemana-mana, tidak ada satu pun hadits yang shahih tentang perkara ini dan juga tidak ada riwayat para sahabat yang mengamalkannya. 

Ada sebuah hadits, yang para ulama menghukuminya sebagai hadits maudhu' (hadits palsu) .

Berkata Anas radhiyallahu anhu, 

حمل العصا علامة المؤمن، وسنة الأنبياء. 

Membawa tongkat adalah ciri seorang mukmin dan sunnah para Nabi.” [Riwayat al-Dailami dalam Musnad al-Firdaus Silsilah al-Da’ifah]. Silahkan buka link ini (https://dorar.net/h/92QGD5jB).

Di dalam Fatawa Syabakah Al Islamiyyah yang diasuh oleh Syekh Dr. Abdullah Al-Faqih hafizhahullah, ada pertanyaan, 

هل صحيح أن الرسول صلى الله عليه وسلم كان يحمل عصا؟ وهل ورد حديث صحيح بذلك؟ وفي حالة صحة ذلك فهل حمل العصا يعتبر سنة؟ أي هل يعتبر شيئًا كهذا مما ورد عن الرسول صلى الله عليه وسلم من عمل يجب الاقتداء به؟

Apakah betul Rasulullah shalahu ‘alaihi wasallam selalu membawa tongkat? Apakah ada Hadits shahih mengenai hal ini? Jika betul ada Haditsnya apakah dipahami sebagai amalan sunnah? Apakah setiap yang datang dari Rasulullah contohnya ini, apakah wajib diikuti?

Jawab,

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه أما بعد: فلم نعثر على حديث يدل على أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يحمل عصا دائمًا، ولو ثبت ذلك لنقله الصحابة الذين حرصوا على تبليغ شرع الله تعالى ونقل سنته صلى الله عليه وسلم، بل ولفعله صحابته الكرام ونقل بالتواتر؛ لأنه من الأمور التي لا يمكن أن تخفى، وإنما ثبت حمله صلى الله عليه وسلم للعصا حال الخطبة في الجمعة، كما هو مذكور في الفتويين التاليتين: 15927، 30293. وعليه فإن حمل العصا دائمًا لا يُعتبر سنة لأنه لم يثبت عن رسول الله صلى الله عليه وسلم. والله أعلم.

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه أما بعد
Alhamdulillah, washolatu wassalamu ala Rusulillahi wa ala alaihi wa shohbihi amma ba'du,

Kami tidak menjumpai Hadits bahwa Nabi shalahu ‘alaihi wasallam selalu membawa tongkat. Jika hal itu tsabit niscaya para Shahabat radhiallahu’anhum telah meriwayatkannya karena mereka itu orang-orang yang sangat gigih dalam menyampaikan syareat Allah ta’ala dan mengambil sunnah beliau shalahu ‘alaihi wasallam. Bahkan mereka telah mengamalkannya dan diriwayatkan secara mutawatir karena ini merupakan perkara yang terlihat bukan tersembunyi. Yang tsabit, beliau membawa tongkat ketika khutbah Jum’at sebagaimana terdapat pada dua fatwa no. 15927 dan no. 30293. Jadi, terus-menerus membawa tongkat tidak dipandang sebagai sunnah karena tidak tsabit dari Rasulullah shalahu ‘alaihi wasallam. Allahu A’lam. Sumber : (https://www.islamweb.net/ar/fatwa/35774/)

KEDUA, Tentang Memakai Sorban.

Memakai sorban yang melilit melingkar di kepala diyakini oleh mereka sebagai sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berdasarkan dalil yang mereka pahami sebagai perintah untuk mengamalkannya. Dalil yang dimaksud adalah hadits-hadits berikut ini.

Dari Amr bin Harits radhiyallahu anhu, dia berkata :

 رأيتُ رسولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم على المنبرِ وَعَلَيهِ عِمَامَة سَوْدَاءُ قَدْ أرخَى طَرفَيهَا بينَ كَتِفَيْهِ

 “Aku melihat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam di atas mimbar dan di atas kepala beliau ada sorban hitam yang kedua ujung sorban tersebut beliau julurkan di antara kedua pundak beliau. (HR. Muslim).

Dan dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu anhu sesungguhnya Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam :

دَخَلَ مَكَّة وَعَلَيْهِ عمَامَةٌ سَودَاء

“Beliau memasuki kota Makkah dan diatas kepala beliau ada sorban hitam.” (HR. Muslim).

Mengenai hadits di atas, para ulama memahami bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dahulu memakainya dalam rangka mengikuti adat pakaian yang dikenakan orang setempat pada waktu itu, bukan merupakan sunnah. Disamping itu tidak ada satu hadits pun yang memerintahkan untuk memakai sorban.

Berkata Syekh Utsaimin rahimahullah :

لبس العمامة ليس من السنن لا المؤكدة ولا غير المؤكدة ، لأن النبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم كان يلبسها اتباعاً للعادة التي كان الناس عليها في ذلك الزمن ، ولهذا لم يأت حرف واحد من السنة يأمر بها ، فهي من الأمور العادية التي إن اعتادها الناس فليلبسها الإنسان لئلا يخرج عن عادة الناس ، فيكون لباسه شهرة ، وإن لم يعتدها الناس فلا يلبسها ، هذا هو القول الراجح في العمامة " انتهى من "فتاوى نور على الدرب".

“Memakai imamah BUKANLAH SUNNAH. Bukan sunnah muakkadah ataupun sunnah ghayru muakkadah. Karena Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dahulu memakainya dalam rangka mengikuti adat pakaian yang dikenakan orang setempat pada waktu itu. Oleh karena itu tidak ada satu huruf pun dari hadits yang memerintahkannya. Maka memakai imamah termasuk perkara adat kebiasaan yang biasa dilakukan orang-orang. Seseorang memakainya dalam rangka supaya tidak keluar dari kebiasaan orang setempat, sehingga kalau memakai selain imamah, pakaiannya malah menjadi pakaian syuhrah. Jika orang-orang setempat tidak biasa menggunakan imamah maka jangan memakainya. Inilah pendapat yang rajih dalam masalah imamah” (Fatawa Nurul Ala Ad-Darbi)..

Dan Berkata Syekh Utsaimin rahimahullah :

"لا ، لباس العمامة ليس بسنة ، لكنه عادة ، والسنة لكل إنسان أن يلبس ما يلبسه الناس ما لم يكن محرماً بذاته ، وإنما قلنا هذا ؛ لأنه لو لبس خلاف ما يعتاده الناس لكان ذلك شهرة ، والنبي صلى الله عليه وسلم نهى عن لباس الشهرة ، فإذا كنا في بلد يلبسون العمائم لبسنا العمائم ، وإذا كنا في بلد لا يلبسونها لم نلبسها ، وأظن أن بلاد المسلمين اليوم تختلف ، ففي بعض البلاد الأكثر فيها لبس العمائم ، وفي بعض البلاد بالعكس ، والنبي صلى الله عليه وسلم كان يلبس العمامة ؛ لأنها معتادة في عهده ، ولهذا لم يأمر بها ، بل نهى عن لباس الشهرة ، مفيداً إلى أن السنة في اللباس أن يتبع الإنسان ما كان الناس يعتادونه ، إلا أن يكون محرماً ، فلو فرضنا أن الناس صاروا يعتادون لباس الحرير وهم رجال قلنا : هذا حرام ولا نوافقهم ، ولو كنا في بلد اعتاد الرجال أن يلبسوا اللباس النازل عن الكعبين قلنا : هذا حرام ولا نوافقهم" انتهى من "لقاء الباب المفتوح" (160/23) .

“Memakai imamah (sorban) bukan sunnah. Akan tetapi ia sebuah adat (kebiasaan). Yang sunnah atas setiap insan, hendaknya dia memakai pakaian yang dipakai oleh manusia (penduduk negerinya) selama tidak termasuk perkara yang diharamkan. Kami mengatakan ini, karena seorang memakai pakaian yang menyelisihi adat manusia (penduduk negerinya), maka hal itu termasuk pakaian syuhroh (pakaian ketenara/tampil beda). Dan nabi –shollallahu ‘alaihi wa sallam- telah melarang dari memakai pakaian syuhrah (pakaian ketenaran/tampil beda dari penduduk negerinya). Jika kita tinggal di negeri yang penduduknya memakai imamah (sorban), maka kita pakai imamah. Dan jika kita tinggal di negeri yang penduduknya tidak memakainya, maka kita tidak memakainya. Dan aku menyangka, sesungguhnya negeri-negeri kaum muslimin sekarang berbeda-beda. Ada sebagian negeri yang kebanyakan penduduknya memakai imamah. Dan ada sebagian negeri yang sebaliknya. Nabi –shollallahu ‘alaihi wa sallam- memakai imamah, karena hal itu merupakan adat waktu itu. Oleh karena itu, beliau –shollallahu ‘alaihi wa sallam- tidak memerintahkan untk memakainya. Bahkan melarang dari memakai pakaian syuhrah (ketenaran/tampil beda) yang memberikan faidah, sesungguhnya yang sunnah dalam berpakaian itu, hendaknya seorang insan mengikuti apa yang telah menjadi adat penduduk negerinya dalam berpakaian, kecuali pakaian yang diharamkan.” [ Liqo’ Babil Maftuh : 24/160 ].

Berkata Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah bersama Lajnah Daimah :

وأما لبس العمامة فهو من المباحات و ليس بسنة كما توهمت. و الأولى أن تبقى على ما يلبس أهل بلدك على رؤوسهم من الغترة و الشماغ و نحوه

“Adapun memakai imamah (sorban), maka ia termasuk dari perkara MUBAH (boleh), dan bukan termasuk perkara SUNNAH sebagaimana yang telah engkau sangka. Dan yang lebih utama, engkau tetap memakai pakaian yang dipakai oleh penduduk negerimu di atas kepala-kepala mereka berupa ghitrah, shimagh, dan yang semisalnya.” [ Fatwa Lajnah Daimah : 24/42 

Berkata Syekh Muqbil Al Wadi rahimahullah :

العمامة تعتبر من عادات العرب التي أقرها الإسلام. كتاب تحفة المجيب:

Ai 'Imamah (sorban) adalah salah satu kebiasaan orang Arab yang diadopsi oleh Islam. (Kitab Tuhfatul Mujib).
Ustadz abu fadhel majalengka


Tidak boleh menghadap api atau alat pemanas ketika solat, dan hendaklah dia mengelaknya sedikit

Berkata Syaikh al-Fawzan حفظه الله:
"Tidak boleh menghadap api atau alat pemanas ketika solat, dan hendaklah dia mengelaknya sedikit."

(Sumber: As’ilah fi al-‘Aqidah, 15/04/1440)
ustadz ibnu salam 

J𝐢k𝐚 𝐞n𝐠k𝐚u l𝐞m𝐚h d𝐚r𝐢 𝐦e𝐥a𝐤s𝐚n𝐚k𝐚n ● 𝐒h𝐨l𝐚t m𝐚l𝐚m● p𝐮a𝐬a ● 𝐌e𝐧g𝐢n𝐟a𝐪k𝐚n h𝐚r𝐭a

J𝐢k𝐚 𝐞n𝐠k𝐚u l𝐞m𝐚h d𝐚r𝐢 𝐦e𝐥a𝐤s𝐚n𝐚k𝐚n 
● 𝐒h𝐨l𝐚t m𝐚l𝐚m
● p𝐮a𝐬a 
● 𝐌e𝐧g𝐢n𝐟a𝐪k𝐚n h𝐚r𝐭a 

M𝐚k𝐚 𝐣a𝐧g𝐚n𝐥a𝐡 𝐥e𝐦a𝐡 𝐮n𝐭u𝐤 𝐦e𝐦p𝐞r𝐛a𝐧y𝐚k m𝐞m𝐛a𝐜a 
● 𝐒u𝐛h𝐚n𝐚l𝐥a𝐡
● 𝐀l𝐡a𝐦d𝐮l𝐢l𝐥a𝐡
● 𝐋a𝐚 𝐢l𝐚a𝐡a i𝐥l𝐚 𝐀l𝐥a𝐡 
● A𝐥l𝐚h𝐮 𝐚k𝐛a𝐫 

𝐒e𝐛a𝐛 𝐝e𝐧g𝐚n b𝐚c𝐚a𝐧 𝐭e𝐫s𝐞b𝐮t a𝐤a𝐧 𝐦e𝐧g𝐠u𝐠u𝐫k𝐚n b𝐞r𝐛a𝐠a𝐢 𝐤e𝐬a𝐥a𝐡a𝐧 𝐝a𝐧 𝐦e𝐥i𝐩a𝐭 𝐠a𝐧d𝐚k𝐚n k𝐞b𝐚i𝐤a𝐧 𝐬e𝐫t𝐚 𝐝a𝐩a𝐭 𝐦e𝐧g𝐚n𝐠k𝐚t d𝐞r𝐚j𝐚t- 𝐧ya
ustadz nurcholis 

Istri az-Zubair bin al-‘Awwam dikenal sebagai wanita yang sangat cantik. Az-Zubair sangat mencintainya dan cemburu padanya, bahkan sampai cemburu dari hembusan angin yang menyentuhnya

Istri Sayyidina az-Zubair bin al-‘Awwam 

‏زوجة الزبير بن العوام كانت جميلة، وكان يغار عليها من الهواء، وكان يحبها كثيرا، ومن شدة حبه وغيرته عليها كان يريد منعها من الذهاب إلى الصلاة في المسجد.

Istri az-Zubair bin al-‘Awwam dikenal sebagai wanita yang sangat cantik. Az-Zubair sangat mencintainya dan cemburu padanya, bahkan sampai cemburu dari hembusan angin yang menyentuhnya. Karena besarnya cinta dan cemburunya, ia ingin melarang istrinya untuk pergi shalat ke masjid. 

لكن لم يستطع أن يمنعها لأن الرسول ﷺ قال: "لا تمنعوا إماء الله مساجد الله"، وعندما طلب منها عدم الذهاب إلى المسجد
‏قالت له أنها سمعت النبي ﷺ يقول: "لا تمنعوا إماء الله مساجد الله"

Namun ia tidak bisa melarang, karena Rasulullah ﷺ bersabda:

"Janganlah kalian melarang hamba-hamba perempuan Allah dari masjid-masjid Allah."

Suatu hari, az-Zubair meminta istrinya untuk tidak keluar ke masjid. Tapi istrinya menjawab, "Aku mendengar Nabi ﷺ bersabda: Janganlah kalian melarang hamba-hamba perempuan Allah dari masjid-masjid Allah."

وفي يوم من الايام خرجت زوجته للمسجد، فمرَّ من جانبها وهي تمشي في الطريق وقام بلمس ذراعها، 

تتوقعون ماذا فعلت عندما لمسها؟!
ماكان منها إلا أن عادت لبيتها ولم تعد للمسجد أياما، فسألها زوجها، لماذا لا تذهبين إلى المسجد؟

Hingga suatu hari, istrinya tetap keluar untuk pergi ke masjid. Saat sedang berjalan, az-Zubair melewati jalannya dan diam-diam menyentuh lengannya.

Apa yang terjadi setelah itu?

Tanpa berkata apa-apa, istrinya langsung pulang ke rumah dan tidak pergi ke masjid lagi selama beberapa hari.

Az-Zubair pun bertanya,  
"Kenapa kamu tidak lagi pergi ke masjid?"

‏قالت له: " كنا نصلي في المسجد ونخرج أيام كان الناس أصحاب حياء، امّا الآن يا أبا عبد الله لا ناس ولا حياء فصلاتنا في البيت أفضل" ..

Ia menjawab:

"Dulu kami shalat di masjid dan keluar di masa ketika orang-orang masih memiliki rasa malu. Tapi sekarang, wahai Abu Abdillah, sudah tidak ada rasa malu dan tidak ada lagi manusia yang baik. Maka shalatku di rumah lebih baik bagiku."

Subhanallah!

يا الله!! ياليت نساءنا مثل زوجة الزبير  فهي امرأة صالحة، عفيفة حيية، فقد غضت بصرها، والدليل أنها لم تكن تعرف أن زوجها هو الذي لمسها!
‏ومن عفتها أنها رجعت إلى بيتها لتصون نفسها! ولم تخرج للمسجد أياما، لأنها استشعرت أن في خروجها خطرا على نفسها.

Seandainya wanita zaman sekarang seperti istri az-Zubair: wanita yang salehah, menjaga kehormatan, dan sangat punya rasa malu. 

Ia bahkan tidak tahu bahwa yang menyentuhnya adalah suaminya sendiri, karena saking ia menjaga pandangannya. Dan karena kemuliaannya, ia memilih pulang dan tidak keluar lagi, karena merasa bahwa keluar rumah saat itu bisa membahayakan dirinya.

Al-Mustathraf fī kulli fannin mustazhraf - Shihabuddin al-Ibshihī
Ustadz M syihabudin

ISTBAT" adalah Mazhab default atsariyyah/hanabilah

Jikalau (beliau) ingin benar² menelaah dengan husnul al-ada terhadap kutub mutaakhirin hanabilah dan bukan copot sana copot sini, maka akan ditemui bahwa "ISTBAT" adalah Mazhab default atsariyyah/hanabilah, adapun jikalau diksi tafwid ma'na yg diinginkan tentunya harus dbawa ke-mahmal (arti) yg baik, serta jikalau terpaksa ad khilaf tentunya itu hanya khilaf lafzi saja, dan juga bukan dari arti Ahli Tajhil yg mana itu dikecam Atsariyyah secara umum. (lihat fatawa hamawiyah Ibn Taimiyyah dan lawami' As-Safarini). 

Diksi "Itsbat" yg dibawakan sebagai default atsariyyah sangat jelas dengan lafazh yg sharih seperti terangnya matahari. 

مذهب سلف الأمة وأئمتها - أنهم يصفون الله بما نصف به نفسه وبما وصف به رسوله من غير تحريف ولا تعطيل ومن غير تكييف ولا تمثيل، [فيثبتون له ما اثبته لنفسه من الأسماء والصفات] وينزهون عما نزه عنه من مماثلة المخلوقات [ إثباتا بلا تمثيل ] وتنزيها بلا تعطيل. 

Najatul Khalaf - 11

فمذهبنا حق بين باطلين، وهدى بين ضلالتين ؛ وهو إثبات الأسماء والصفات، مع نفي التشبيه والأدوات

Al-A'in wal Al-Atsar - 36 dan masih banyak selainnya. 

📌 Apabila dikatakan, bukannya mereka hanya berkata "ITSBAT" secara umum? Bisa jdi yg diinginkan adalah ISTBAT Lafaz saja. 

Kita katakan : itu adalah sebab kurangnya pendalaman terhadap furu' yg dituliskan para aimmah. 
Seluruhnya sepakat bahwa lafaz tidak boleh digonta-ganti sebagaimana yang di-khabarkan Nash. 
Akan tetapi ada perselisihan antara Atsariyyah dengan segelintir internal (seperti Ibnu 'Aqil) dan luar atsariyyah didalam Istbat Ashlul ma'na atau tdak. 
Ketika para aimmah Ahlul hadist dan setelahnya menjelaskan bahwa ISTIWA (استواء) adalah Itsbat 'uluw terhadap Allah, secara mantiq mereka memahami kata istiwa dengan dilalatul iltizam, yg mana tdk mungkin dilalah ini digunakan kecuali ada makna yang difahami terkandung dri kata Istiwa itu. 
Bukankah ini pemahaman mendasar Ilmu Mantiq?! 

Allahu a'lam

Cairo, 25 Oktober 2025
ust babanya ubaid

banyak bicara

bukan mencari ridho manusia

rizki dimata orang kebanyakan hanyalah harta

Sebagian orang beranggapan bahwa rezeki itu hanya berbentuk harta, uang atau yang sejenisnya...

Padahal rezeki itu cakupannya sangat luas bisa saja pasangan yang shalihah, anak-anak yang berbakti, pekerjaan yang nyaman, memiliki rasa aman, memiliki kesehatan yang baik, memiliki makanan yang cukup, memiliki teman-teman yang shaleh, dimudahkan duduk di majelis ilmu dan belajar, memiliki keluarga yang Sakinah, ketenangan hati, waktu luang dan sebagainya...

Jangan pernah kita menyempitkan sesuatu yang ternyata sangat luas cakupannya

Dan yang paling penting semua itu wajib kita syukuri sehingga rezeki tersebut bisa bertahan bahkan bertambah

Allah taala berfirman :

لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ

“Jika kalian bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepada kalian; tetapi jika kalian kufur, maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim: 7)
Ustadz miftah abu hudaifah