📝 Khurafat yang Menghancurkan Umat
_________________
Syaikh Rasyīd Ridhā rahimahullāh menceritakan tentang penduduk Bukhārā, bahwa ketika mereka telah diperingatkan akan serangan Rusia terhadap negeri mereka, mereka tidak mempersiapkan diri dengan kekuatan yang semestinya. Bahkan mereka malah mengejek dan memperolok hal itu seraya berkata: “Negeri kami berada dalam perlindungan ‘Syāh Naqsyaband’ (yakni wali yang dinisbatkan kepadanya Thariqah Naqsyabandiyah).” Namun ketika tentara Rusia menyerbu mereka, tidak ada satupun pertolongan dari wali tersebut yang bisa mereka dapatkan. Justru mereka berbalik dalam keadaan kalah, kehilangan kemerdekaan mereka, dan status mereka tidak dianggap lagi.
Diceritakan juga bahwa ketika penduduk Maroko paling barat (Maroko bagian barat jauh) diperingatkan akan penjajahan Prancis atas negeri mereka, dan bahwa kewajiban mereka adalah menyusun barisan serta mempersiapkan kekuatan yang diperlukan untuk menghadapi pasukan Prancis, para pengikut tharīqah (tarekat) menghalangi mereka dengan alasan bahwa kota Fes dilindungi oleh ‘Maulāya Idrīs’, dan bahwa orang-orang Prancis tidak akan mampu mendudukinya. Hasil yang wajar dari kelalaian itu adalah bahwa Prancis berhasil menguasai negeri mereka. Bahkan terbukti bahwa para “syaikh tharīqah” yang paling berpengaruh dan paling banyak mengaku-aku karamah secara batil, seperti tharīqah Tījāniyyah, adalah orang-orang yangmenjadi pelayan Prancis dan membantu mereka dalam menaklukkan negeri, memperbudak penduduknya, atau menjerumuskan mereka keluar dari agama Islam menuju ateisme atau Nasrani, baik mereka sadari ataupun tidak. (Limāżā lā Naqbal Karāmāt aṣ-Ṣūfiyyah, 3).
Dari kedua kisah diatas, kita bisa melihat bagaimana khurafat bisa membawa dampak buruk bagi kehidupan umat. Ketika orang-orang lebih percaya pada cerita-cerita karamah yang tidak jelas asal-usulnya, seperti yang berasal dari mimpi, khayalan, atau kisah tanpa sanad yang kuat, maka perlahan mereka mulai meninggalkan ajaran Islam yang sebenarnya. Padahal, Islam mengajarkan untuk berusaha, berpikir, dan bertawakal secara seimbang, bukan sekadar berharap keajaiban tanpa ikhtiar.
Contoh terbaik tentu saja Rasulullah ﷺ sendiri. Saat beliau hijrah, beliau tidak hanya berdoa atau menunggu pertolongan, tetapi menyusun strategi, menyewa penunjuk jalan, dan memilih waktu serta rute yang aman. Itu bukti bahwa Islam menuntun untuk bersikap realistis dan cerdas dalam bertindak.
Maka sangat keliru jika seseorang menganggap cukup dengan kisah karamah untuk menghadapi persoalan besar, lalu meninggalkan usaha nyata yang diperintahkan oleh Allah.
Masalah muncul ketika khurafat mulai dianggap sebagai bagian dari agama. Umat jadi mudah percaya pada cerita yang belum tentu benar, dan mengabaikan pentingnya belajar, berpikir, dan bekerja keras.
Lebih dari itu, khurafat juga bisa menggeser tauhid. Ketika seseorang lebih menggantungkan harapan kepada tokoh yang sudah wafat, bahkan meyakini mereka bisa menolong dalam segala keadaan, maka itu adalah bentuk penyimpangan yang berbahaya. Semua pertolongan sejatinya hanya datang dari Allah, bukan dari makhluk, apalagi yang sudah meninggal. Lama-kelamaan, keyakinan semacam ini membuat umat menjadi pasif. Mereka enggan berjuang, tidak
tertarik menuntut ilmu, dan merasa cukup dengan cerita-cerita lama yang bersifat menghibur tapi tidak mendidik. Akhirnya, mereka tertinggal dalam berbagai bidang dan mudah dijajah—bukan hanya secara fisik, tapi juga secara pemikiran.
Perlu ditegaskan bahwa Ahlus Sunnah mengimani adanya karamah bagi para wali, karena karamah adalah bagian dari keajaiban yang Allah berikan kepada hamba-Nya yang bertakwa.
Al-Imām Abū Ja’far aṭ-Ṭaḥāwī rahimahullāh berkata:
وَنُؤْمِنُ بِمَا جَاءَ مِنْ كَرَامَاتِهِمْ، وَصَحَّ عَنِ الثِّقَاتِ مِنْ رِوَايَاتِهِمْ.
“Dan kami mengimani karamah-karamah para wali yang diriwayatkan secara shahih oleh perawi-perawi yang terpercaya.” (Al-‘Aqīdah aṭ-Ṭaḥāwiyyah, 31).
Maka jelaslah, bahwa Ahlus Sunnah menetapkan karamah dengan ilmu, dan sanad yang sahih, bukan dengan khayalan dan klaim tanpa bukti.
Di sinilah pentingnya menjaga kemurnian akidah dan menjauhi segala bentuk khurafat yang menyesatkan umat dari ajaran Islam yang sebenarnya.
Dengan memahami batasan ini, semoga kita termasuk golongan yang mencintai para wali karena ketakwaannya, bukan karena cerita-cerita yang menyesatkan.