Selasa, 29 Juli 2025

Imam Masbuq?

Imam Masbuq?

Meskipun saya tidak meyakini keabsahan hal ini, tapi akan saya bawakan pendapat mereka yang membolehkan.

Zainuddin Al Malibari (w. 987H) mengatakan,
"tidak bermakmum pada makmum". (Quratul Ain).

Kemudian beliau jelaskan,
"dan tidak termasuk orang yang bermakmum adalah orang yang selesai bermakmumnya. Apabila imam telah salam, kemudian makmum berdiri (untuk menggenapi kekurangan), kemudian orang masbuq lain bermakmum kepadanya, maka sah (kemakmuman masbuq tadi), atau orang-orang masbuq berdiri (untuk menggenapi kekurangan), lalu sebagian menjadikan sebagian lain sebagai imam, maka sah juga, menurut pendapat muktamad, akan tetapi hal ini makruh. (Fathul Muin, h. 189. Cet Dar Ibnu Hazm, t. 1424H/2004M)

Kemudian Abu Bakar Muhammad Syatha (w. 1310H)
memberikan penjelasan,
"perkataannya (tidak mengikuti-bermakmum kepada makmum) yakni tidak sah bermakmum pada pada makmum saat dia menjadi makmum, sebab mustahil menggabungkan dua keadaannya yang mengikuti (menjadi makmum) sekaligus diikuti (menjadi imam).... (I'anah  Thalibin, h. 800, cet. Darus Salam, th 1442H/2021M)

Kemudian beliau melanjutkan penjelasan,
"perkataannya: (Imam telah selesai salam) sebagai permisalan bagi orang yang selesai bermakmum. Dan perkataannya: (kemudian orang masbuq tersebut berdiri), yakni: untuk menyelesaikan yang tersisa baginya (kekurangan rokaat). Dan perkataannya: (kemudian - orang lain - bermakmum padanya), yakni kepada masbuq tersebut, setelah ia berdiri untuk menggenapi kekurangannya. Perkataannya: (sah - perbuatan orang yang mengikuti masbuq tadi), pada keadaan ini (kasus pertama), dan dalam kasus kedua sah selama hal itu bukan shalat jum'at. Sedangkan kedua keadaan tersebut tidak sah kemakmuman (masbuq lain tadi) menurut pendapat Al Jamal (Abu Dawud Sulaiman Al Jamal Asy Syafi'i, w. 1204H) dan Ar Ramli (Syihabuddin Abul Abbas Ahmad bin Ahmad bin Hamzah Ar Ramli Asy Syafi'i, w. 957), sedangkan keadaan kedua (dalam shalat jum'at) tidak sah menurut Ibnu Hajar (saya tidak tahu apakah yang dimaksudkan Al Astqolani, w. 852H atau Al Haitami, w. 973H). Sedangkan keadaan pertama adalah sah menurut beliau (Al Malibari), akan tetapi dihukumi makruh. Al Kurdi (Muhammad bin Sulaiman Al Kurdi, w1194H) mengambil faidah darinya (yakni mengikuti pendapat Al Malibari ini). (Hasyiah I'anah Ath Thalibin, h. 801, cet. Darus Salam, th. 1442H/2021M).

Kesimpulannya, tata cara tersebut masih diperselisihkan di dalam Syafi'yah. Sedangkan apa yang saya pahami, menggunakan pemahaman Hanabilah, maka hal itu tidak benar semuanya, sebagaimana pendapat Ar Ramli dan Al Jamal. Allahua'lam.

#kangstadz #kajianfiqhjogja
Ustadz prasetyo j hertanto