Senin, 13 Oktober 2025

Risalah yang ditulis oleh Imam Mar’i bin Yusuf al-Karmi al-Hanbali rahimahullah di mana beliau menjelaskan berbagai perkara yang berkaitan dengan ziarah kubur, istighotsah, tawassul kepada mayyit, dan lain-lain sebagaimana terlihat dari judulnya

Risalah yang ditulis oleh Imam Mar’i bin Yusuf al-Karmi al-Hanbali rahimahullah di mana beliau menjelaskan berbagai perkara yang berkaitan dengan ziarah kubur, istighotsah, tawassul kepada mayyit, dan lain-lain sebagaimana terlihat dari judulnya.

Seluruh isi risalahnya membantah Kuburiyyun atas penyimpangan mereka dari Syariat Islam.

Imam Al-Karmi dalam kitab ini banyak menuqil Perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, beliau berpandangan sama bahwasanya Induk dari Segala Jenis Kesyirikan adalah Ghuluw terhadap Wali & Kuburan² nya.

Imam Al-Karmi Menuqil Perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yang membagi Kuburiyyun kedalam beberapa jenis :

أحدها: أن يسأل ما لا يقدر عليه إلا الله ، مثل : أن يسأله أن يزيل مرضه، أو مرض دوابه، أو يقضي دينه، أو ينتقم له من عدوه، أو يعافي نفسه، وأهله، ودوابه، ونحو ذلك، فهذا شرك صريح يجب أن يستتاب صاحبه، فإن تاب وإلا قتل

Pertama: Seseorang meminta sesuatu yang tidak mampu dilakukan kecuali oleh Allah seperti : Meminta kepada selain Allah agar menghilangkan penyakitnya, atau penyakit hewannya, atau melunasi hutangnya, atau membalaskan dendam kepada musuhnya, atau menyelamatkan dirinya, keluarganya, dan hewannya, serta hal-hal semacamnya, maka ini adalah Kesyirikan yang Nyata. Pelakunya wajib diminta untuk bertaubat, jika ia bertaubat maka taubatnya diterima, namun jika tidak mau bertaubat, maka ia harus dihukum mati.

فالتعرض لرده مما يكرهه الله، والنبي، والصالح، لا يعين على ما يكرهه الله، ولا يسعى فيما يبغضه الله ، وإن لم يكن كذلك، فالله سبحانه أولى بالرحمة والقبول منه بل ومن سائر خلقه أجمع

Karena perbuatan seperti itu adalah perbuatan yang dimurkai Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang sholeh. Maka tidak pantas bagi seseorang membantu dalam perkara yang dibenci Allah atau berusaha dalam hal yang dimurkai-Nya. Jika pun tidak demikian, maka Allah Subhanahu wa Ta‘ala lebih Penyayang dan mengabulkan hajatnya daripada makhluk mana pun.

ثانيها: أن يقول : أنا أسأله لكونه أقرب إلى الله تعالى مني ليشفع لي هذه الأمور ؛ فأنا أسأله ليسأل لي ربه، كما يتوسل إلى السلطان بخواصه وأعوانه؛

Kedua: Bahwa seseorang berkata: “Aku meminta kepadanya (selain Allah) karena dia lebih dekat kepada Allah daripada aku, agar ia menjadi perantara dan memohonkan hal itu untukku, aku memintanya agar dia memintakan kepada Rabb-Nya untukku, sebagaimana seseorang bertawassul kepada raja melalui orang-orang terdekatnya dan pembantu-pembantunya 

فهذا من أفعال المشركين والنصارى، فإنهم قالوا : ﴿ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِبُونَا إِلَى الله ) (۱) ويقولون : يا والدة الإله اشفعي لنا ويتخذون أحبارهم، ورهبانهم شفعاء، قال : ثم يقال لهذا المشرك أنت إذا دعوت هذا، فإن كنت تظن أنه أعلم بحالك، وأقدر على إعطاء سؤالك، أو أرحم بك من ربك، فهذا جهل، وضلال، وكفر ، وإن كنت تعلم أن الله أعلم وأقدر ، وأرحم، فلماذا عدلت عن سؤاله إلى سؤال غيره، وهذه هي طريقة النصارى

Maka perbuatan seperti ini termasuk perbuatan Kaum Musyrikin dan Nasrani. Sebagaimana firman Allah Ta‘ala:
“Kami tidak menyembah mereka melainkan agar mereka mendekatkan kami kepada Allah sedekat-dekatnya.” (QS. Az-Zumar: 3)
Mereka juga berkata : “Wahai ibu Tuhan (Maria), berilah syafaat untuk kami.” Dan mereka menjadikan pendeta dan rahib mereka sebagai perantara bagi mereka.
Kemudian dikatakan kepada orang musyrik itu : “Ketika engkau berdoa kepada selain Allah, jika engkau meyakini bahwa dia lebih mengetahui keadaanmu, lebih mampu mengabulkan permintaanmu, atau lebih penyayang daripada Tuhanmu, maka itu adalah kejahilan, kesesatan, dan kekufuran.
Namun jika engkau tahu bahwa Allah lebih mengetahui, lebih mampu, dan lebih penyayang, maka mengapa engkau berpaling dari berdoa langsung kepada-Nya dan malah meminta kepada selain-Nya? Inilah Thoriqoh Kaum Nasrani.

ولهذ لم يكن أحد من سلف الأمة لا في عصر الصحابة والتابعين، ولا تابع التابعين، من يفعل ذلك، أعظم الشرك : أن يستغيث الرجل بالرجل الميت عند المصائب، والشدائد، فيقول : يا سيدي فلان، كأنه يطلب منه إزالة ضره، أو جلب نفعه، وهذا حال النصارى في المسيح، وأمه وأحبارهم ورهبانهم

Karena tidak seorang pun dari salaf umat ini, tidak di zaman para sahabat, tabi‘in, maupun tabi‘ut-tabi‘in yang melakukan hal seperti ini.
Sesungguhnya Syirik yang Paling Besar adalah ketika seseorang beristighotsah kepada Mayyit saat tertimpa musibah dan kesulitan, lalu ia berkata: "Ya Sayyidi Fulan...” seolah-olah ia meminta agar orang mati itu menghilangkan kesusahannya atau mendatangkan manfaat baginya. Inilah keadaan Kaum Nasrani terhadap Isa Al-Masih, ibunya Maria/Maryam, serta para pendeta dan rahib-rahib mereka.

وأما طلب الدعاء من الميت سواء كان من الأنبياء أو الصالحين أو من غيرهم، فليس بمشروع، فلا يشرع لنا أن نقول للميت : اسأل لنا ربك، ولا نحو ذلك، فإن مثل هذا لم يفعله أحد من الصحابة والتابعين، ولا أمر به أحد من الأئمة، ولا ورد في ذلك حديث أصلاً، بل الذي ثبت في الصحيح أنهم لما أجدبوا زمن عمر - رضي الله عنه استسقى عمر بالعباس، وقال: اللهم إنا كنا إذا أجدبنا نتوسل إليك بنبينا فتسقينا، وإنا نتوسل إليك بعم نبينا فاسقنا (۱)، فيسقون، ولم يأتوا إلى قبر النبي الله قائلين : يا رسول الله ادع الله لنا، ونحن نشتكي إليك ما أصابنا، ونحو ذلك، ولم يفعل هذا أحد من الصحابة والتابعين قط، بل هو بدعة ما أنزل الله بها من سلطان، بل كانوا إذا جاءوا قبره - عليه السلام - يسلمون عليه، وإذا أرادوا الدعاء، لم يدعوا الله مستقبلي القبر، بل ينحرفون ويستقبلون القبلة، ويدعون الله وحده، كما يأتي، وذلك خوف الفتنة به، ولما تقدم من الأحاديث: «اللهم لا تجعل قبري وثنا يعبد، اشتد غضب الله على قوم اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد»، وأما الدعاء عند القبور فهو جائز بلا ريب ما لم يتحر الدعاء عندها فيكره، أو يعتقد الداعي أنه مشروع أو يقصدها معتقدا أن الدعاء عندها أفضل، أو أقرب للإجابة، أو أسرع إجابة، فيكون حراماً، أو مكروهاً؛ لأنه شرع في الدين ما ليس منه

Adapun berdoa kepada mayyit baik itu nabi, atau sholihin, maupun selainnya, maka hal itu tidak disyariatkan.
Tidak boleh bagi kita berkata kepada orang mati: “Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami,” atau semacamnya.

Karena tidak ada seorang pun dari sahabat, tabi‘in, atau imam-imam kaum muslimin yang melakukannya, dan tidak ada satu hadits pun yang shahih tentang hal tersebut.

Yang shahih adalah  ketika terjadi kekeringan di zaman Umar bin Khatthab radhiyallahu anhu, beliau berdoa meminta hujan melalui paman Nabi ﷺ, yaitu Al-Abbas, dengan mengatakan:

“Ya Allah, dahulu kami bertawassul kepada-Mu dengan doa yang diajarkan Nabi kami, maka Engkau menurunkan hujan kepada kami. Sekarang kami bertawassul kepada-Mu dengan doa yang diajarkan paman Nabi kami, maka turunkanlah hujan kepada kami.”

Maka hujan pun turun.
Namun mereka tidak datang ke kubur Nabi ﷺ seraya berkata:

“Wahai Rasulullah, berdoalah kepada Allah untuk kami,” atau “Kami mengadu kepadamu atas musibah yang menimpa kami,” dan semacamnya.

Tidak ada satu pun sahabat atau tabi‘in yang melakukan hal itu. Maka perbuatan semacam itu adalah bid‘ah yang tidak memiliki Landasan dari Allah. Ketika para sahabat datang ke kubur Nabi ﷺ, mereka hanya memberi salam, dan bila mereka hendak berdoa, mereka tidak menghadap ke kubur Nabi, tetapi berpaling dan menghadap ke kiblat, berdoa hanya kepada Allah semata, sebagaimana akan dijelaskan kemudian karena mereka takut akan fitnah (Kesyirikan) terhadap Kubur Beliau.

Sebagaimana sabda Nabi ﷺ:

“Ya Allah, jangan jadikan kuburanku sebagai berhala yang disembah. Allah sangat Murka kepada suatu kaum yang menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai masjid.”

Adapun berdoa di dekat kuburan, hukumnya boleh tanpa ada keraguan, selama tidak menjadikannya tempat khusus untuk berdoa, atau meyakini bahwa berdoa di sana adalah ibadah yang disyariatkan, atau menganggap doa di sana lebih utama atau lebih cepat dikabulkan.

Jika seseorang meyakini hal-hal semacam itu, maka hukumnya haram atau makruh, karena itu berarti mengada-adakan ajaran baru dalam agama yang tidak ada asalnya." [ Shifa'us Shudur fi Ziyarah Masyahid wa Al-Qubur, hal. 118-120 ]

Wallahu A'lam
ust mhmmd yunus