Diantara ciri bacaan seseorang Tartil tentu tahu kapan ia berhenti membaca (waqf) dan kapan ia memulai (ibtida’). Sebagaimana perkataan ‘Ali bin Abi Thalib terkait definisi Tartil,
الترتيل تجويد الحروف، ومعرفة الوقوف
“Tartil itu mentajwidkan huruf dan mengetahui wuquf (tempat-tempat Waqf)”. (HR. Ath-Thabari & al-Baihaqiy, dan selain keduanya)
Atsar tersebut juga diriwayatkan oleh para Qurrâ diantaranya Ibn al-Jazari dalam an-Nasyr fil Qirâatil 'Asyri.
Jika ada tempat berhenti maka ada tempat memulai. Oleh karenanya Waqf & Ibtida’ merupakan 2 topik keilmuan yang lebih menarik perhatian banyak kalangan dari semenjak dahulu. Seseorang tak dikatakan mahir membaca Alquran jika tak faham dengan ini. Keliru dalam hal ini akan mengurangi ketepatan makna dan keindahannya.
Dimaklumi bahwa mushaf ‘Utsmani terdahulu tidaklah mencantumkan tanda-tanda waqaf. Bahkan penomoran ayat pun belum ada. Maka para Sahabat mengetahui waqaf tersebut berdasarkan riwayat bacaan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan melalui ijtihad akan kesempurnaan makna bacaan.
Kenapa saya katakan berdasarkan riwayat, tak hanya pemahaman makna. Sebab realitas yang terjadi memang demikian, Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan pada sebagian sahabat (meski tak seluruhnya) melalui Talaqqi langsung atau mencontohkannya dalam bacaan shalat.
Diantara buktinya adalah penuturan Ibn ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma,
لقد عشنا برهة من دهرنا وإن أحدنا يؤتى الإيمان قبل القرآن ، وتنزل السورة على محمد - صلى الله عليه وآله وسلم - فيتعلم حلالها وحرامها ، وما ينبغي أن يوقف عنده فيها كما تعلمون أنتم القرآن... (رواه الحاكم)
“Sungguh kami pernah hidup di masa kami (dengan Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam). Dan sesungguhnya salah seorang diantara kami itu diajari keimanan dulu sebelum Alquran. Jika surat turun pada Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, maka kami akan mempelajari halal-haram nya, dan *apa-apa yang mesti diwaqafkan padanya bacaan kami*, sebagaimana kalian ketahui hari ini ketika belajar Alquran…” [HR. Al-Hakim dalam Mustadrak-nya]
Argumentasi “karena riwayat” inilah yang kemudian menjadi senjata saya dalam menutup diskusi panas terkait alasan mengapa di mushaf riwayat Hafsh ‘an ‘Ashim, diantaranya surat an-Nur ayat 36-37,
فِی بُیُوتٍ أَذِنَ ٱللَّهُ أَن تُرۡفَعَ وَیُذۡكَرَ فِیهَا ٱسۡمُهُۥ یُسَبِّحُ لَهُۥ فِیهَا بِٱلۡغُدُوِّ وَٱلۡـَٔاصَالِ (٣٦) رِجَالࣱ لَّا تُلۡهِیهِمۡ تِجَـٰرَةࣱ وَلَا بَیۡعٌ عَن ذِكۡرِ ٱللَّهِ وَإِقَامِ ٱلصَّلَوٰةِ وَإِیتَاۤءِ ٱلزَّكَوٰةِ یَخَافُونَ یَوۡمࣰا تَتَقَلَّبُ فِیهِ ٱلۡقُلُوبُ وَٱلۡأَبۡصَـٰرُ (٣٧)
[Surat An-Nur: 36-37]
Waqaf terjadi di بِٱلۡغُدُوِّ وَٱلۡـَٔاصَالِ . Sebab kalau dilihat dari Tarkib, jika waqaf disana makna jadi terpotong. Fa’il bagi یُسَبِّحُ tidak ada, melainkan loncat ke ayat berikutnya. Jika ia fi’il mudhari majhul mungkin saja, namun disini kondisinya ma’lum. Maka yang paling tepat untuk jadi fa’il adalah رِجَالࣱ di ayat berikutnya. Cuma masalahnya mengapa diwaqaf disana?
Sebagian mencoba menawarkan رِجَالࣱ disana bisa sebagai Mubtada yang khabarnya adalah لَّا تُلۡهِیهِمۡ dst, namun itu tak menjawab persoalan. Dari sinilah kemudian saya tunjukkan beberapa mushaf dari Qiraat lain untuk membuktikan bahwa itu terjadi karena PERIWAYATANNYA MEMANG DEMIKIAN. Saya bukakan dari riwayat Warsy ‘an Nafi’, Qunbul dan Al Bazzi dari Ibn Katsir, yang mana mereka mewashalkan dan tak waqaf disana. Berarti memang berdasarkan periwayatan mereka diwashal disana. Sementara riwayat Hafsh diwaqaf, sehingga dari فِی بُیُوتٍ sampai وَٱلۡأَبۡصَـٰرُ itu satu ayat.
Sehingga terdiam lah seluruh peserta diskusi tersebut. Karena dalam hal riwayat yang telah mutawatir, akal mana yang mampu menyanggah? Hanya Sami’naa wa atha’na. Maka jika Hafsh ‘an ‘Ashim meriwayatkan seperti itu dan itu tentu muttashil pada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka itu juga berarti bacaan Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Berarti bacaan Hafsh juga shahih dan layak dipakai. Meski secara tarkib kelihatan “aneh”, tak ada ruang bagi akal membantah.
Ayat-ayat semisal ini tak hanya satu, melainkan ada beberapa lagi. Itulah alasan saya menyatakan mengapa dalam hal waqaf tak sepenuhnya ijtihad qâri, melainkan juga berdasarkan riwayat sebagaimana argumen-argumen di atas. Namun tentu dalam praktik membacanya pemahaman terhadap makna memiliki porsi besar. Semakin faham makna ayat-ayat, makin mudah baginya mewaqafkan sesuai dengan makna yang ingin ia tekankan dan tadabburi disana, dan ini menunjukkan kefaqihannya terhadap Alquran.
Inilah hebatnya ilmu qiraat. Jika fiqih di dalamnya penuh dengan ijtihad, dan memang tempatnya ijtihad; sebaliknya ilmu qiraat justru mendasarkan kuat pada riwayat; dan ijtihad yang ada tidak pada bunyi bacaan melainkan pada waqaf & ibtida, itupun haruslah sesuai kaedah yang berlaku serta pemahaman yang kuat. Jika ilmu fiqih begitu lapang kalau ada ikhtilaf, maka ilmu qiraat justru dianggap syadz (nyeleneh) bahkan sesat jika jauh dari qiraat ‘asyrah mutawatirah. Hanya sayang, sebagian orang kurang memperhatikan ilmu qiraat, padahal seringkali kami temukan ia juga berpengaruh pada fiqih.
Semoga bermanfaat...
25 Rabi'ul Akhir 1447 H, sembari menikmati pagi di pinggir sawah Ma'had Daar El 'Ilmi Beusi...
Akhûkum,
✒️ _Mochamad Teguh Azhar_