Sejarah Perayaan Maulid Nabi
Penulis:
al-Habib asy-Syaikh Alwi bin Abdil Qadir as-Saqqaf hafizhahullah ta'ala
Sesungguhnya termasuk perkara yang diada-adakan oleh manusia pada masa-masa belakangan, yaitu setelah masa 3 generasi utama umat Islam, adalah perayaan Maulid Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam. Adapun pada masa sahabat, tabi‘in, dan orang-orang setelah mereka, tidak ada seorang pun yang merayakan peringatan Maulid Nabi. Tidak ada dari para sahabatnya yang mulia, tidak pula generasi setelah mereka dari kalangan ulama dan imam yang diikuti. Baik dari kalangan imam fikih seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Asy Syafi‘i, dan Imam Ahmad, maupun dari kalangan imam ahli hadits seperti Imam al-Bukhari, Imam Muslim, dan yang lainnya.
Perayaan bid‘ah ini baru diadakan pada akhir abad ke-4 hijriah. Orang-orang yang pertama kali mengadakannya dan mengada-adakannya adalah kaum Syiah Rafidhah al-‘Ubaidiyyun (yang secara dusta dan menyesatkan menyebut diri mereka dengan Fathimiyyun). Mereka mengadakan Maulid Nabi sebagaimana juga mereka yang pertama kali mengadakan perayaan hari ‘Asyura dengan cara memukul-mukul dada, menampar-nampar pipi, melukai kepala, dan berbagai bid‘ah lainnya. Sebagai ungkapan kesedihan atas terbunuhnya al-Husain bin ‘Ali raḍiyallāhu ‘anhumā, pada tahun yang sama.
Ini adalah fakta sejarah yang tidak diingkari kecuali oleh orang yang jahil tentang sejarah. Hal ini telah dicatat oleh al-Maqrizi (wafat 845 H) dalam kitabnya al-Khithath (2/436). Al Maqrizi menyebutkan bahwa mereka mengadakan berbagai macam peringatan maulid dan perayaan bid‘ah; di antaranya maulid Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam, maulid ‘Ali, maulid Fathimah, maulid Hasan, maulid Husain, dan maulid-maulid lainnya, hingga mencapai 27 perayaan. Semuanya pun lenyap ketika runtuhnya Daulah ‘Ubaidiyyah pada tahun 567 H di tangan Shalahuddin al-Ayyubi raḥimahullāh.
Kemudian kaum sufi setelah itu menghidupkan kembali bid‘ah perayaan hari kelahiran Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam. Dan kaum Rafidhah menghidupkan kembali bid‘ah perayaan hari ‘Asyura. Bid‘ah-bid‘ah ini pun terus berlangsung hingga hari ini.
Ketika terasa berat bagi orang-orang yang fanatik dengan perayaan maulid Nabi untuk menerima bahwa kaum pertama yang mengadakannya adalah kaum Rafidhah yang bejat, mereka pun mengklaim bahwa orang pertama yang mengadakannya adalah penguasa Irbil, yaitu Raja al-Muzaffar Abu Sa‘id Kaukabri, yang wafat pada tahun 630 H. Mereka mengklaim bahwa ini adalah pernyataan dari Imam Ibnu Katsir (wafat 774 H) dalam kitabnya al-Bidāyah wa an-Nihāyah (13/136–137). Namun, hal itu tidak benar.
Teks perkataan Ibnu Katsir sebenarnya adalah:
وكان يَعمَلُ المولِدَ الشريفَ في ربيعٍ الأوَّل، ويحتفِلُ به احتفالًا هائلًا
“Dan ia (Abu Sa'id Kaukabri) biasa mengadakan maulid Nabi yang mulia pada bulan Rabi‘ul Awwal dan merayakannya dengan perayaan yang besar”.
Jadi, Ibnu Katsir tidak mengatakan bahwa Abu Sa'id Kaukabri lah orang pertama yang mengadakannya, melainkan hanya menyebutkan bahwa ia biasa merayakannya pada bulan Rabi‘ul Awal.
Fakta sejarah kedua yang juga tidak dapat diragukan adalah bahwa tidak ada bukti pasti bahwa tanggal 12 Rabi‘ul Awal merupakan hari kelahiran Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam. Bahkan yang lebih kuat dan lebih tepat adalah bahwa hari itu bukanlah hari kelahiran beliau. Namun yang pasti, sebagaimana ditegaskan oleh mayoritas sejarawan, adalah bahwa tanggal 12 Rabi'ul Awal merupakan hari wafatnya beliau Shallallahu'alaihi Wasallam, yang terjadi pada hari Senin, lalu beliau dimakamkan pada hari Selasa. Semoga ayahku, ibuku, dan diriku menjadi tebusan bagi beliau.
Kemudian perayaan ini pun menyebar ke berbagai penjuru negeri, dan sebagian ulama serta para penceramah menganggapnya baik karena di dalamnya terdapat penyebutan sirah Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam. Lalu setan pun menipu sebagian mereka dan membuat mereka lupa asal-muasalnya serta kenyataan bahwa abad-abad pertama tidak mengenalnya.
Maka mulailah mereka berdalil untuk membolehkan bahkan mensyariatkan serta menganggap baik perayaan itu dengan dalil-dalil yang ke timur dan ke barat sama sekali tidak ada kaitannya dengan perayaan tersebut! Maka para ulama bangkit untuk membantah dalil-dalil mereka dan syubhat-syubhat mereka.
Dan sebagaimana biasanya bid‘ah, ia tidak berhenti pada satu batas. Pada perayaan maulid ini pun masuk pula berbagai bid‘ah lain yang mungkar dan perbuatan keji lainnya. Seperti tabuhan rebana, berjoget-joget dan menari-nari, bercampurnya laki-laki dan perempuan di sebagian negeri, serta kemaksiatan lainnya. Termasuk juga pembacaan qasidah-qasidah syirik yang berisi permohonan pertolongan kepada selain Allah Ta‘ala, dan pujian yang berlebihan kepada Rasul Shallallahu'alaihi Wasallam sebagaimana orang-orang Nasrani berlebihan dalam memuji Isa putra Maryam ‘alaihissalam.
Sumber: https://dorar.net/article/1944
Fawaid Kangaswad