Gambar ini merupakan halaman kitâb Musthalahul Hadîts karya As-syaikh Ibnu Utsaimîn rahimahullâh pada bâb Al-Jarh Wat Ta'dîl.
Disebutkan oleh beliau jarh itu diterima dengan 5 syararat.
Di antaranya adalah seperti terlihat pada point ke-3 yaitu jarh diterima dari orang yang 'ârif (tahu dan faham) dengan sebab-sebab terjadinya jarh.
Dan jarh tidak diterima dari orang yang tidak mengetahui al-qawâdih (jamak dari qâdihah maksudnya orang yang tidak tahu alasan jarh, tidak tahu cacatnya, tidak faham sebab celaan yang terjadi maka tidak diterima jarh dari orang semacam ini).
Dan point ke-4 jarh mubham (jarh yang tidak dijelaskan rincian apa saja sebab terjadinya jarhnya yang sesuai syarat-syarat dalam ilmu hadîts), maka jarh semacam ini juga tidak diterima.
Sudah belajar kitâb ini belum ?. Kalau sudah pernah belajar ini, malu rasanya membahas jarh para aimmah sementara ilmu kita ini sangatlah kurang dan dangkal.
Dan jika ingin melihat kedangkalan ilmu seseorang maka lihatlah sikapnya, dan orang yang petantang-petenteng sikat sana, sikat sini namun tidak berjalan di atas kaidah ilmu, dapatlah diketahui akan kedangkalan ilmunya.
Dalam kitâb Hilyah Thâlibil 'Ilmi dikatakan:
فقد قيل: العلم ثلاثة أشبار، من دخل في الشبر الأول، تكبر ومن دخل في الشبر الثانى، تواضع ومن دخل في الشبر الثالث، علم أنه ما يعلم
Dan sungguh telah dikatakan; ilmu itu ada tiga jengkal, siapa memasuki pada jengkal pertama maka ia bersikap takabbur (pada level ini penuntut ilmu bersikap sombong, semua orang dibabat, dan ia merasa dirinya paling benar walau tanpa ada nukilan yang dikeluarkan), siapa masuk pada jengkal kedua maka ia bersikap tawâdhu' (pada level ini penuntut ilmu mulai merendah bahwasanya di atas langit masih ada langit), dan siapa memasuki jengkal ketiga, maka ia mengetahui bahwasanya dirinya tidaklah mengetahui apa-apa.
Dan kita lanjutkan pembahasan Al-Jarh Wat Ta'dîl kitâb Ibnu Utsaimîn di atas, Ibnu Utsaimîn membagi jarh itu ada dua yaitu jarh muthlaq dan jarh muqayyad.
Pada jarh muthlaq râwiy dicela dalam keadaan apapun tanpa ditaqyîd.
Dan pada jarh muqayyad, kadang seorang râwiy dijarh pada suatu keadaan dan tidak pada keadaan yang lain, misal Ismâ'îl bin 'Ayyâsy hadîts beliau yang diriwayatkan dari Hijâziyyîn dinyatakam dha'îf, dan tidak hadîts beliau dari ahlus Syâm.
Contoh lain, jika dikatakan râwiy dha'îf dalam hadîts sifât, maka tidak menjadi dha'îf dalam riwayat lainnya. Maka pembahasan semacam ini ada pada bâb jarh muqayyad.
Dalam ilmu Al-Jarh Wat Ta'dîl ada aturan-aturan mainnya, tidak serampangan semudah fulân menjarh lalu ikut menjarh, dan kekeliruan kalau diterima setiap jarhnya seorang imâm tanpa melihat syarat dan manhaj ahlul hadîts dalam menerima jarh seorang imâm.
Semoga semakin banyak pembahasan semacam ini semakin membuat kita bertambah faham, bertambah dewasa, dan semakin berhati-hati dalam membahas sesuatu yang di luar kapasitas kita.
Cobalah baca kitâb musthalahul hadîts Ibnu Utsaimîn ini dan betul-betul dibahas bersama masyâyikh ketika daurah atau via online, atau di mana saja yang memungkinkan, maka in syâa Allâh akan lebih banyak fâidah yang didapat, kitâb ini halamannya ada 91 halaman.
Kalau bahas jarh wa ta'dîl serampangan tidak berjalan di atas manhaj ahlil hadîts hanya akan membuat hati kita akan saling berjauhan.. tapi kalau membahasnya dengan manhaj ahlil hadîts akan banyak fâidah yang didapatkan.