Syubhat: Boleh Merayakan Maulid Nabi Jika Isinya Pengajian Edukatif
Terdapat anggapan bahwa boleh merayakan perayaan maulid Nabi jika tidak ada maksiat di dalamnya dan isinya berupa pengajian yang edukatif.
Ini adalah syubhat yang halus untuk melegalkan kebid'ahan berupa perayaan maulid Nabi.
Kita jawab syubhat ini:
Pertama, peringatan maulid Nabi adalah kebid'ahan yang dilarang dalam agama. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin mengatakan, "Perayaan Maulid Nabi tidak dikenal oleh generasi salafus shalih. Serta tidak dilakukan oleh Khulafa Ar Rasyidin, juga tidak dilakukan oleh para sahabat Nabi atau pun juga oleh para tabi’in yang mengikuti mereka dengan baik. Juga tidak dilakukan oleh para imam kaum Muslimin yang hidup setelah mereka. Dari sini kita bertanya-tanya: apakah kita yang hidup sekarang ini lebih hebat dalam mengagungkan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam daripada mereka? Jawabnya tentu tidak. Apakah kita yang hidup sekarang ini lebih hebat cintanya kepada Rasulullah daripada mereka? Jawabnya tentu tidak. Jika demikian maka sudah semestinya kita mengikuti jejak mereka dan sudah semestinya kita tidak merayakan Maulid Nabi (sebagaimana juga mereka tidak merayakan). Karena amalan tersebut adalah perkara baru dalam agama" (Al Liqa Asy Syahri rekaman no. 66).
Sedangkan kebid'ahan dilarang oleh agama. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setiap memulai khutbah biasanya beliau mengucapkan,
أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah (perkara agama) yang diada-adakan, setiap (perkara agama) yang diada-adakan itu adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah kesesatan.” (HR. Muslim no. 867)
Maka orang yang menghalalkan kebid'ahan, semestinya merenungkan hadits yang mulia ini dan hadits-hadits lainnya. Takutlah kepada Allah ketika menghalalkan yang dilarang oleh syariat!
Kedua, illah (sebab) pelarangan melakukan perayaan maulid adalah membuat al-‘ied (hari raya) baru dalam agama. Ciri utama al-‘ied adalah dilakukan rutin atau berulang-ulang serta orang-orang bersengaja untuk berkumpul-kumpul di waktu tersebut.
Dalam Lisanul Arab disebutkan,
والعِيدُ : كلُّ يوم فيه جَمْعٌ ، واشتقاقه من عاد يَعُود كأَنهم عادوا إِليه
“Al-‘ied adalah setiap hari yang orang-orang berkumpul-kumpul di hari itu. Berasal dari kata ‘aada-ya’uudu karena seakan-akan secara rutin orang-orang mengulang hari itu.”
Sehingga, perayaan maulid Nabi dan maulid-maulid lainnya jelas merupakan al-‘ied karena dilakukan secara berulang dan rutin setiap tahun. Selain itu, orang-orang juga bersengaja berkumpul-kumpul di hari itu. Sedangkan membuat al-‘ied yang baru dalam agama adalah kebid’ahan.
Demikian juga membuat hari 'Ied merayakan kelahiran Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam ini meniru perbuatan orang-orang kafir yang merayakan kelahiran Nabi dan orang-orang shalih di antara mereka.
Syekh Nasir bin Abdil Karim Al-'Aql hafizahullah menjelaskan,
الأعياد من جملة الشرائع والمناسك ، كالقبلة ، والصلاة ، والصيام ، وليست مجرد عادات ، وهنا يكون أمر التشبه والتقليد فيها للكافرين أشد وأخطر ، وكذلك تشريع أعياد لم يشرعها الله يكون حكمًا بغير ما أنزل الله ، وقولًا على الله بغير علم ، وافتراء عليه ، وابتداعًا في دينه
“Hari 'Ied merupakan bagian dari syariat dan ibadah, seperti kiblat, shalat, puasa. Bukan sebatas adat. Dari sini, maka perkara tasyabbuh terhadap orang kafir lebih berat dan lebih bahaya. Begitupula menetapkan hari-hari Id yang tidak Allah syariatkan merupakan bentuk penetapan hukum yang tidak Allah ajarkan dan berpendapat atas nama Allah tanpa ilmu serta berdusta dalam agamanya” (Muqadimah Shiratal Mustaqim, hal. 58)
Ringkas kata, illah terlarangnya merayakan maulid Nabi adalah karena membuat ied baru dan tasyabbuh kepada orang kafir. Ketika peringatan maulid Nabi berupa pengajian yang edukatif, kedua 'illah tersebut tetap ada. Sehingga hukumnya tetap bid'ah yang terlarang.
Ketiga, andaikan peringatan maulid Nabi dibolehkan jika isinya berupa pengajian edukatif, maka konsekuensinya akan banyak kebid'ahan lain yang dibolehkan:
* Boleh merayakan kelahiran Nabi Isa, asalkan isinya pengajian edukatif.
* Boleh merayakan kelahiran Fathimah, asalkan isinya pengajian edukatif.
* Boleh merayakan kelahiran Ali bin Abi Thalib, asalkan isinya pengajian edukatif.
* Boleh merayakan Valentine, asalkan isinya pengajian edukatif.
* Boleh merayakan hari ulang tahun sendiri, asalkan isinya pengajian edukatif.
dll.
Keempat, para ulama mengatakan: segala bentuk peringatan dan perayaan maulid Nabi apapun formatnya, selama niatnya adalah memperingati maulid Nabi maka ia bid'ah yang terlarang.
Muhammad bin al-Hajj al-Abdari (wafat 737H), ulama besar madzhab Maliki dari kota Fes, Maroko, yang dikenal dengan Ibnul Hajj Al Fasi, beliau menjelaskan dengan peringatan Maulid Nabi:
فإنْ خلا- أي: عمَلُ المولِد- منه- أي: مِن السَّماعِ- وعمِلَ طعامًا فقط، ونوَى به المولِدَ، ودعَا إليه الإخوانَ, وسَلِم مِن كلِّ ما تقدَّمَ ذِكرُه- أي: مِن المفاسِد- فهو بِدعةٌ بنَفْسِ نِيَّتِه فقط؛ إذ إنَّ ذلك زِيادةٌ في الدِّين ليس من عمَلِ السَّلفِ الماضين، واتِّباعُ السَّلفِ أَوْلَى، بل أوْجَبُ، مِن أن يَزيدَ نِيَّةً مُخالِفةً لِما كانوا عليه؛ لأنَّهم أشدُّ الناس اتِّباعًا لسُنَّة رَسولِ الله صلَّى الله عليه وسلَّم، وتَعظيمًا له ولسُنَّتِه صلَّى الله عليه وسلَّم، ولهُم قدَمُ السَّبقِ في المبادَرةِ إلى ذلك، ولم يُنقَلْ عن أحدٍ منهم أنه نوَى المولِدَ، ونحن لهم تبَعٌ؛ فيَسعُنا ما وَسِعَهم
"Jika dalam acara peringatan maulid Nabi itu tidak ada unsur mendengarkan nyanyian dan sekedar membuat makanan saja, dengan niat untuk merayakan maulid, lalu mengundang saudara-saudara semuslilm, dan tidak terdapat segala kerusakan yang telah disebutkan sebelumnya, maka peringatan ini tetaplah bid‘ah sekedar karena niatnya saja. Sebab, peringatan ini merupakan penambahan dalam agama yang tidak pernah diamalkan oleh para salaf terdahulu. Padahal, mengikuti salaf itu lebih utama, bahkan lebih wajib, daripada menambahkan suatu niat yang menyelisihi apa yang mereka lakukan. Karena merekalah orang yang paling kuat dalam mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam. Serta paling besar semangatnya dalam mengagungkan Nabi dan sunnahnya. Mereka pula yang paling bersegera dalam perkara itu. Dan tidak ada riwayat dari seorang pun di antara mereka bahwa ada para salaf yang meniatkan perayaan maulid Nabi. Kita hanyalah pengikut mereka; maka cukup bagi kita apa yang telah mencukupi mereka"
(Al Madkhal, 2/312).
Kelima, para ulama Ahlussunnah memfatwakan terlarangnya merayakan peringatan maulid Nabi walaupun bentuknya berupa pengajian edukatif.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menjelaskan:
إذا خطب الخطيب خطبة الجمعة، وذكر فيها مبدأ بعث الرسول عليه الصلاة والسلام، وشيئا من حياته، فلا يعتبر بدعة؛ لأن هذه الخطبة موجودة، خطبة الجمعة ثابتة من قبل، أما أن يحدث محاضرة في نفس اليوم، فهذا من البدع، أو من وسائل البدعة
"Apabila khatib menyampaikan khutbah Jum'at, lalu di dalamnya ia menyebutkan permulaan diutusnya Rasul Shallallahu'alaihi Wasallam dan sedikit dari riwayat kehidupannya, maka hal itu tidak dianggap sebagai bid‘ah. Karena khutbah itu sendiri sudah ada, khutbah Jumat memang telah ditetapkan sejak dahulu. Adapun membuat suatu pengajian khusus pada hari yang sama, maka itu termasuk bid‘ah, atau termasuk sarana yang mengantarkan kepada bid‘ah" (Dinukil dari Islamweb fatwa no.409873).
Para ulama dalam al-Lajnah ad-Daimah lil-Buhuts wal Ifta menjelaskan:
لولا الاحتفال لإحياء المناسبات؛ كليلة النصف من شعبان، وليلة المعراج، ويوم المولد النبوي؛ لأن هذا من البدع المحدثة، التي لم ترد عن النبي صلى الله عليه وسلم، ولا عن أصحابه، وقد قال صلى الله عليه وسلم: من عمل عملا ليس عليه أمرنا، فهو رد، ولا يجوز الإعانة على إقامة هذه الاحتفالات بالمال، ولا بالهدايا، ولا توزيع أكواب الشاي، ولا يجوز إلقاء الخطب والمحاضرات فيها؛ لأن هذا من إقراراها، والتشجيع عليها، بل يجب إنكارها، وعدم حضورها
"Tidak boleh mengadakan perayaan untuk memperingati suatu peristiwa; seperti malam Nisfu Sya‘ban, malam Isra’ Mi‘raj, dan hari kelahiran Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam. Karena semua itu termasuk bid‘ah yang diada-adakan, yang tidak pernah datang dari Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam dan tidak pula dari para sahabatnya. Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam telah bersabda: 'Barang siapa mengerjakan suatu amalan yang tidak ada tuntunannya dari kami, maka amalan itu tertolak'. Tidak boleh pula membantu penyelenggaraan perayaan tersebut dengan harta, hadiah, atau sekadar membagikan cangkir teh. Tidak boleh juga mengadakan pengajian khusus di dalamnya, karena itu berarti turut mengakui dan mendorong pelaksanaannya. Bahkan yang wajib adalah mengingkarinya dan tidak menghadirinya" (Dinukil dari Islamweb fatwa no.409873).
Keenam, adapun perbuatan sebagian da'i dan ustadz yang mengadakan pengajian khusus di hari-hari peringatan seperti hari kemerdekaan, hari ibu, hari tahun baru Islam, dan semisalnya, maka ini bukan hujjah. Perbuatan da'i dan ustadz bukanlah hujjah untuk melegalkan bid'ah.
Perbuatan tersebut pun dikritik oleh sebagian ulama karena yang demikian dapat menjadi hujjah bagi ahlul bid'ah. Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin mengatakan:
أما أن يحدث محاضرة في هذه الأيام، فهذا من البدع، فإن لم يكن من البدع، فهو حجة لأهل البدع
"Adapun mengadakan pengajian khusus pada hari-hari maulid tersebut, maka itu termasuk bid‘ah. Dan jika tidak dianggap sebagai bid‘ah, maka hal itu bisa menjadi hujjah (alasan pembenaran) bagi para pelaku bid‘ah" (Dinukil dari Islamweb fatwa no.409873).
Dan para da'i dan ustadz yang melakukan demikian pun (walaupun perbuatannya keliru), namun mereka tidak meniatkan untuk merayakan maulid Nabi. Karena sebagaimana penjelasan Imam Ibnul Haj rahimahullah di atas, yang menjadi pembeda adalah niatnya. Ketika berupa pengajian edukatif, namun niatnya untuk memperingati maulid nabi maka ini tetap bid'ah yang terlarang.
Wallahu ta'ala a'lam. Semoga Allah ta'ala memberi taufik.
Fawaid Kangaswad