Makruh Menyebutkan Kunyah Diri Sendiri dalam Penulisan dan Lain Semisalnya
+++++
Konsep dasarnya adalah, seseorang semestinya tidak memuliakan dirinya sendiri. (Namun sebaliknya, ia semestinya memuliakan orang lain.) Kunyah (contoh: Abu Fulan) adalah bentuk memuliakan. Oleh karenanya, pada prinsipnya seseorang itu tidak selayaknya memuliakan dirinya sendiri dengan menggunakan kunyah, di dalam penulisan dan semisalnya.
Pada sebagian darasnya, Syaikh al-'Ushaimi berkata (kurang lebihnya), "Memperkenalkan diri dengan kunyah hukumnya makruh. Tapi memanggil orang lain dengan kunyah itu hukumnya sunnah, karena merupakan bagian dari memuliakan orang lain. Sedangkan terdapat larangan memuliakan dan mengagungkan diri sendiri, karena (dapat) termasuk sombong, di mana memperkenalkan diri dengan kunyah adalah bagian darinya."
Imam an-Nawawi berkata dalam al-Adzkar,
وَالْأَدَبُ أَلَا يَذْكُرَ الرَّجُلُ كُنْيَتَهُ فِي كِتَابِهِ وَلَا فِي غَيْرِهِ ، إِلا أَلا يُعْرَفَ إِلا بِكُنْيَتِهِ ، أَوْ كَانَتِ الْكُنْيَةُ أَشْهَرَ مِنِ اسْمِهِ
“Termasuk adab, seseorang itu tidak menyebut kunyahnya dalam kitabnya atau selainnya, kecuali jika ia tidak dikenal kecuali dengan kunyahnya, atau kunyahnya lebih masyhur dibandingkan namanya.”
Jadi, ada kondisi kebutuhan yang mengecualikan kemakruhan tersebut.
Pertama: Jika seseorang tidak dikenal kecuali dengan kunyahnya. Misalnya, Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Jarang yang mengenal nama asli beliau (Abdurrahman bin Shakhr), maka kunyah dibutuhkan agar dikenali.
Kedua: Jika kunyah seseorang itu lebih populer daripada nama aslinya. Contohnya Abu Hanifah (Nu‘man bin Tsabit). Hampir semua orang lebih mengenal beliau dengan kunyahnya.
Sekali lagi, yang dimakruhkan itu menyebutkan untuk kunyah diri sendiri (di luar pengecualian di atas). Adapun menyebutkan kunyah untuk orang lain maka justru dianjurkan.
Credit: Ustaz Miftah Jaelaniy
Catatan: Saya pribadi dulu sempat menggunakan kunyah dalam penulisan, tapi itu sudah lama saya tinggalkan.