Sabtu, 09 Agustus 2025

Pemimpin Adalah Cerminan Rakyat

📝 Pemimpin Adalah Cerminan Rakyat
_______________

Sepanjang sejarah, hubungan antara rakyat dan pemimpin selalu menjadi cermin keadaan suatu bangsa. Baik-buruknya penguasa sering kali merupakan pantulan dari kualitas rakyatnya.

Para ulama salaf menegaskan bahwa kepemimpinan yang adil dan penuh berkah lahir dari masyarakat yang taat dan lurus, sementara kepemimpinan yang zalim muncul di tengah masyarakat yang lalai dan penuh maksiat.

Prinsip ini tidak hanya menjadi hikmah turun-temurun dalam nasihat para ulama, tetapi juga ditegaskan dalam Al-Qur’an, di mana Allah menyatakan bahwa Dia menjadikan sebagian orang zalim sebagai pemimpin bagi yang lainnya sebagai balasan atas perbuatan mereka. Dengan kata lain, perubahan keadaan pemimpin berawal dari perubahan keadaan rakyat.

Abū Bakr aṭ-Ṭurṭūsyī berkata:

Aku senantiasa mendengar orang-orang berkata:

أعمالكم عمّلكم

“Perbuatan kalian adalah para pemimpin kalian, dan Sebagaimana kalian, demikian pula penguasa yang diangkat atas kalian”. hingga aku menemukan makna ini dalam al-Qur’ān. Allah Ta‘ālā berfirman:

{وَكَذَ ٰ⁠لِكَ نُوَلِّی بَعۡضَ ٱلظَّـٰلِمِینَ بَعۡضَۢا بِمَا كَانُوا۟ یَكۡسِبُونَ}

“Dan demikianlah Kami jadikan sebagian orang-orang zalim sebagai pemimpin bagi sebagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan.” (QS. al-An‘ām: 129).

Dulu juga dikatakan:

 ما أنكرت من زمانك، فإنما أفسده عليك عملك.

“Kerusakan apa saja yang engkau ingkari dari zamanmu, maka sesungguhnya yang merusaknya adalah perbuatanmu sendiri.”

Abdul Malik bin Marwān berkata:

ما أنصفتمونا يا معشر الرعية، تريدون منا سيرة أبي بكر وعمر ولا تسيرون فينا ولا في أنفسكم بسيرتهما، نسأل الله أن يعين كل على كل.

“Kalian tidak berlaku adil kepada kami, wahai segenap rakyat. Kalian menginginkan dari kami untuk berjalan di atas manhaj Abu Bakar dan Umar, sedangkan kalian sendiri tidak berjalan di tengah kami atau pada diri kalian seperti perjalanan mereka berdua. Kami memohon kepada Allah agar setiap pihak dibantu untuk memperbaiki pihak lainnya.”

Qatādah berkata:

قالت بنو إسرائيل: إلهنا أنت في السماء ونحن في الأرض فكيف نعرف رضاك من سخطك؟ فأوحى الله تعالى إلى بعض أنبيائهم: إذا استعملت عليكم خياركم فقد رضيت عنكم، وإذا استعملت عليكم شراركم فقد سخطت عليكم.

“Bani Israil berkata: Wahai Tuhan kami, Engkau di langit dan kami di bumi, bagaimana kami mengetahui apakah Engkau ridha atau murka kepada kami?”

Maka Allah mewahyukan kepada salah seorang nabi mereka:

“Apabila Aku mengangkat orang-orang terbaik kalian untuk memimpin kalian, maka itu tanda bahwa Aku ridha kepada kalian. Dan apabila Aku mengangkat orang-orang terburuk kalian untuk memimpin kalian, maka itu tanda bahwa Aku murka kepada kalian.”

Ubaidah as-Salmānī berkata kepada Ali bin Abi Ṭālib radhiyallāhu ‘anhu:

 يا أمير المؤمنين ما بال أبي بكر وعمر انطاع الناس لهما، والدنيا عليهما أضيق من شبر فاتسعت عليهما ووليت أنت وعثمان الخلافة ولم ينطاعوا لكما، وقد اتسعت فصارت عليكما أضيق من شبر؟

“Wahai Amirul Mukminin, mengapa pada masa Abu Bakar dan Umar rakyat begitu patuh kepada keduanya, padahal dunia ketika itu lebih sempit dari sejengkal, lalu menjadi lapang bagi keduanya; sedangkan engkau dan Utsman memegang kekhalifahan, rakyat tidak sepatuh itu, padahal dunia telah lapang, tetapi menjadi lebih sempit dari sejengkal bagi kalian?”

Ali menjawab:

لأن رعية أبي بكر وعمر كانوا مثلي ومثل عثمان، ورعيتي أنا اليوم مثلك وشبهك!

“Karena rakyat Abu Bakar dan Umar adalah orang-orang seperti aku dan Utsman, sedangkan rakyatku hari ini adalah orang-orang sepertimu dan yang semisal denganmu!”

Seseorang menulis surat kepada Muhammad bin Yusuf mengadukan kezhaliman para penguasa, maka Muhammad bin Yūsuf menjawab:

بلغني كتابك وتذكر ما أنتم فيه، وليس ينبغي لمن يعمل المعصية أن ينكر العقوبة، ولم أر ما أنتم فيه إلا من شؤم الذنوب، والسلام.

“Suratmu telah sampai kepadaku, dan engkau menyebutkan keadaan yang kalian alami. Tidak sepantasnya bagi orang yang melakukan maksiat untuk mengingkari adanya hukuman. Aku tidak melihat keadaan kalian saat ini kecuali sebagai akibat dari keburukan dosa-dosa. Wassalām. (Sirāj al-Mulūk, 1/467-468).

Dari kisah dan perkataan para salaf di atas, dapat diambil pelajaran bahwa kondisi masyarakat dan pemimpinnya sangat erat kaitannya dengan amal perbuatan mereka. Baik atau buruknya penguasa adalah cerminan dari keadaan rakyatnya. Ketika masyarakat taat kepada Allah, menjaga akhlak, dan menunaikan kewajiban, Allah akan mengangkat pemimpin-pemimpin yang adil dan saleh sebagai tanda keridaan-Nya.

Namun, ketika masyarakat tenggelam dalam maksiat dan kerusakan, maka Allah akan memberikan pemimpin yang zalim sebagai bentuk hukuman dan murka-Nya.

Hal ini menunjukkan bahwa memperbaiki keadaan suatu negeri tidak cukup hanya dengan menuntut perbaikan dari para penguasa, tetapi harus dimulai dari perbaikan diri dan masyarakat secara umum.

Kezhaliman, kekacauan, dan kesempitan hidup yang dialami suatu bangsa sering kali merupakan akibat langsung dari dosa-dosa mereka sendiri. Bahkan, keluhan terhadap keburukan zaman atau ketidakadilan pemimpin seharusnya disertai introspeksi terhadap kesalahan dan kelalaian diri.

Para salaf juga mengingatkan bahwa tidak adil jika rakyat menuntut pemimpin mencontoh generasi terbaik umat ini seperti Abu Bakar dan Umar, sementara rakyat sendiri tidak mau meneladani ketaatan dan keikhlasan generasi sahabat di masa itu. Keteladanan para pemimpin di masa lalu berjalan seiring dengan kebaikan dan keteguhan rakyatnya.

Maka, perbaikan hubungan antara pemimpin dan rakyat harus bersifat timbal balik: pemimpin memperbaiki kepemimpinannya, dan rakyat memperbaiki dirinya, sehingga tercipta kehidupan yang adil, lapang, dan diridhai oleh Allah.
Ustadz khairullah