Selasa, 05 Agustus 2025

Menjaga Niat dalam Berkarya: Teladan dari Imam Al-Māwardī

📝 Menjaga Niat dalam Berkarya: Teladan dari Imam Al-Māwardī
_______________________

Di balik sejarah para ulama besar, ada banyak kisah yang bukan hanya memberi pelajaran, tapi juga menyentuh hati. Mereka bukan sekadar orang yang berilmu, tapi juga sangat menjaga keikhlasan. Salah satunya adalah Imam Al-Māwardī, seorang ahli fikih, tafsir, dan ilmu lainnya.

Tapi hal yang paling mengesankan dari beliau bukan hanya ilmunya, melainkan bagaimana beliau berusaha menjaga niatnya agar tetap ikhlas dan menjauhkan diri dari pamer.

Beliau menulis banyak karya penting, namun selama hidup beliau tidak pernah mempublikasikannya. Beliau khawatir jika karyanya dipublikasikan, karena beliau merasa belum benar-benar ikhlas. Barulah ketika ajalnya sudah dekat, rahasia itu mulai diketahui—melalui cara yang sederhana, tapi penuh makna.

Dikisahkan bahwa selama hidupnya, Al-Māwardī tidak pernah menampakkan karya-karya tulisnya. Semua kitab-kitab karya beliau dikumpulkan dan simpan di satu tempat, yang  jauh dari sorotan manusia. Ketika ajal mulai mendekat dan beliau merasa kematian kian dekat, beliau memanggil seseorang yang sangat ia percaya. Beliau berkata:

“Kitab-kitab yang ada di tempat ini semuanya adalah karyaku. Namun aku tidak pernah menampakkannya karena aku tidak menemukan niat yang benar-benar ikhlas karena Allah, yang tidak tercampuri sedikit pun oleh syahwat dunia. Maka jika aku telah masuk dalam sakaratul maut dan engkau melihatku menghadapi kematian, letakkan tanganmu di tanganku. Jika aku menggenggam tanganmu dan mencengkeramnya, ketahuilah bahwa Allah tidak menerima satu pun dari karya-karya itu. Maka ambillah semua kitab itu dan buanglah ke sungai Dajlah (Tigris) di malam hari. Namun jika aku membiarkan tangan ini terbuka dan tidak menggenggam tanganmu, ketahuilah bahwa Allah telah menerima karya-karya tersebut dan aku telah mendapatkan apa yang selama ini aku harapkan berupa niat yang tulus karena-Nya.”

Orang itu pun berkata:

“Ketika kematiannya sudah sangat dekat, aku meletakkan tanganku di tangannya. Beliau membukanya dan tidak menggenggam tanganku. Maka aku pun yakin bahwa itu adalah tanda bahwa karya-karya itu telah diterima. Setelah beliau wafat, aku pun menampakkan dan menyebarkan kitab-kitabnya kepada umat.” (Wafayāt al-Aʿyān, 3/282-383).

Kisah Al-Māwardī mengajarkan bahwa keikhlasan bukan hal yang mudah, tapi butuh usaha sepanjang hidup. Beliau menunjukkan bahwa apa yang terlihat besar di mata manusia belum tentu bernilai di sisi Allah. Justru amal yang tidak terlihat orang lain, bisa jadi lebih mulia di hadapan-Nya. Di zaman sekarang, saat banyak orang ingin diakui dan dipuji, kisah ini jadi pengingat yang menyejukkan: sebenarnya, untuk siapa semua ini kita lakukan?

Semoga Allah menjadikan kita orang-orang yang lebih mengutamakan penilaian-Nya daripada penilaian manusia. Amin.
Ustadz khairullah