📝 Ahlus Sunnah dan Pengikut Hawa Nafsu: Ukuran Jelas dalam Sikap Terhadap Penguasa
______________________
Dalam Islam, perbedaan antara Ahlus Sunnah dan Ahli Bid’ah tidak hanya tampak dalam keyakinan dan metode pengambilan ilmu, tetapi juga nyata dalam sikap mereka terhadap para pemimpin kaum Muslimin. Salah satu indikator yang sangat jelas terlihat adalah cara mereka bersikap dan mendoakan penguasa.
Ahlus Sunnah dikenal dengan prinsip yang kokoh dalam menjaga persatuan umat, menghormati waliyyul amr (penguasa), dan mendoakan kebaikan untuk mereka, sekalipun penguasa itu memiliki kekurangan. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Al-Fudhail bin ‘Iyādh rahimahullāh:
لَوْ أَنَّ لِي دَعْوَةً مُسْتَجَابَةً، مَا جَعَلْتُهَا إِلاَّ فِي إِمَامٍ، فَصَلاَحُ الإِمَامِ صَلاَحُ البِلاَدِ وَالعِبَادِ
“Seandainya aku memiliki satu doa yang mustajab, niscaya aku akan doakan kebaikan untuk pemimpin. Sebab, baiknya seorang pemimpin berarti baiknya negeri dan rakyat” (Siyar A’lām an-Nubalā’, 8/434).
Ucapan ini menunjukkan betapa pentingnya peran pemimpin dalam kemaslahatan umat. Dengan mendoakan kebaikan bagi mereka, berarti kita menginginkan kebaikan untuk seluruh rakyat dan negeri.
Sebaliknya, Ahli Bid’ah cenderung menjadikan penguasa sebagai bahan cercaan, kutukan, dan celaan di berbagai majelis, bahkan sering menjadikan kesalahan mereka sebagai alasan untuk menghasut dan memecah belah umat. Padahal, mencela penguasa bukanlah bagian dari manhaj salaf yang lurus.
Imam Al-Barbahārī rahimahullāh berkata:
وَإٍذَا رَأَيْتَ الرَّجُلَ يَدْعُوْ عَلَى السُّلْطَانِ، فَاعْلَمْ أَنَّهُ صَاحِبُ هَوَى. وَإِذَا رَأَيْتَ الرَّجُلَ يَدْعُوَ لِلسُّلْطَانِ بِالصَّلَاحِ، فَاعْلَمْ أَنَّهُ صَاحِبُ سُنَّةٍ إِنْ شَاءَ اللهُ.
“Jika engkau melihat seseorang mendoakan keburukan bagi penguasa, ketahuilah bahwa ia adalah pengikut hawa nafsu. Dan jika engkau melihat seseorang mendoakan kebaikan bagi penguasa, maka ketahuilah bahwa ia adalah pengikut sunnah, insyāAllāh.” (Syarḥ as-Sunnah, 107-108).
Perkataan ini menjadi tolok ukur yang sangat jelas untuk membedakan siapa yang benar-benar mengikuti sunnah dan siapa yang mengikuti hawa nafsunya dalam bersikap.
Mendoakan kebaikan bagi penguasa bukan berarti membenarkan semua kebijakan atau menutup mata dari kesalahan mereka. Ahlus Sunnah bukanlah kelompok yang menutup mata terhadap kekeliruan penguasa. Mereka menyadari bahwa di antara pemimpin akan ada yang menyimpang dari petunjuk Nabi ﷺ, bahkan mungkin melakukan kezaliman dan kebijakan yang merugikan rakyat. Namun, Ahlus Sunnah juga memahami bahwa solusi terhadap penyimpangan itu bukan dengan celaan, hasutan, apalagi pemberontakan.
Rasulullah ﷺ sendiri telah memberi panduan yang jelas dalam menghadapi situasi semacam ini. Beliau bersabda:
سَتَكُونُ أثَرَةٌ وأُمُورٌ تُنْكِرُونَها.
“Akan muncul sikap mementingkan diri sendiri (dari para pemimpin) dan perkara-perkara yang kalian ingkari.”
Para sahabat berkata:
يا رَسولَ اللَّهِ، فَما تَأْمُرُنا؟
“Wahai Rasulullah, apa yang engkau perintahkan kepada kami (dalam menghadapi itu).”
Rasulullah ﷺ bersabda:
تُؤَدُّونَ الحَقَّ الذي علَيْكُم، وتَسْأَلُونَ اللَّهَ الذي لَكُمْ.
“Tunaikanlah hak mereka, dan mintalah hak kalian kepada Allah.” [HR. Bukhari (3603) dan Muslim (1843)].
Dalam menjelaskan hadits di atas, Imam an-Nawawī rahimahullāh berkata:
وَفِيهِ الْحَثُّ عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ كَانَ الْمُتَوَلِّي ظَالِمًا عَسُوفًا، فَيُعْطَى حَقَّهُ مِنَ الطَّاعَةِ، وَلَا يُخْرَجُ عَلَيْهِ وَلَا يُخْلَعُ، بَلْ يُتَضَرَّعُ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى فِي كَشْفِ أَذَاهُ وَدَفْعِ شَرِّهِ وَإِصْلَاحِهِ.
“Di dalamnya terdapat anjuran untuk mendengar dan taat, meskipun yang memegang kekuasaan adalah seorang yang zalim dan kejam. Maka tetap diberikan haknya berupa ketaatan, dan tidak boleh memberontak terhadapnya, tidak pula mencopotnya. Akan tetapi, hendaknya memohon dengan sungguh-sungguh kepada Allah Ta'ala agar Dia menghilangkan gangguannya, menolak keburukannya, dan memperbaikinya.” (Syarḥ ṣahīh Muslim, 12/232).
Hadits ini menunjukkan bahwa dalam menghadapi penguasa yang tidak menunaikan kewajiban dengan baik, umat tetap diperintahkan untuk menunaikan kewajiban mereka sebagai rakyat, yaitu taat selama bukan dalam hal maksiat, tidak memberontak, serta menjaga stabilitas umat. Adapun hak-hak rakyat yang mungkin terabaikan, hendaknya dimohon kepada Allah, Zat Yang Maha Adil dan Maha Menolong.
Inilah jalan Ahlus Sunnah: bersabar atas kezhaliman, menasihati dengan cara yang baik, dan menyerahkan urusan kepada Allah tanpa membuka pintu fitnah dan kekacauan. Berbeda halnya dengan Ahli Bid’ah, yang menjadikan kesalahan penguasa sebagai peluang untuk menyulut amarah rakyat, membakar semangat permusuhan, dan mengajak kepada pemberontakan yang justru menimbulkan kerusakan yang lebih besar.
Ibnu Taimiyah rahimahullāh berkata:
.قَالَ بَعْضُ الْعُقَلَاءِ سِتُّونَ سَنَةً مِنْ سُلْطَانٍ ظَالِمٍ خَيْرٌ مِنْ لَيْلَةٍ وَاحِدَةٍ بِلَا سُلْطَانٍ
“Sebagian orang bijak berkata: Enam puluh tahun di bawah pemimpin yang zhalim, lebih baik daripada satu malam tanpa kepemimpinan.” (Majmū’ Fatāwā, 20/54).
Dengan demikian, manhaj salaf dalam urusan penguasa adalah manhaj penuh hikmah, sabar, dan mengedepankan maslahat umat. Sebuah prinsip agung yang tak mudah dilaksanakan, kecuali oleh mereka yang lurus aqidah dan besar rasa takutnya kepada Allah.
Maka berhati-hatilah. Ukur diri kita dan orang-orang di sekitar kita: apakah jalan yang ditempuh adalah jalan para salaf, atau jalan yang menyelisihi mereka? Karena sikap terhadap penguasa adalah salah satu tanda paling nyata dalam membedakan Ahlus Sunnah dari Ahli Bid’ah.
✍️ Khairullah Tekko