Rabu, 21 Mei 2025

MENGATAKAN KEBENARAN DIHADAPAN PENGUASA ZALIM

MENGATAKAN KEBENARAN DIHADAPAN PENGUASA ZALIM

Sebagian orang dengan penuh lantang mereka berkata,

"Jihad yang paling utama mengatakan kebenaran dihadapan penguasa zalim. Jangan diam dari kemungkaran....bla...bla....bla....".

Kemudian mereka mengutip sebuah hadits.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ

“Jihad yang paling utama ialah mengatakan kebenaran di hadapan penguasa yang zalim.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah).

Dalilnya benar, cuma penerapannya yang salah dan keliru. Kenapa demikian, karena mereka bicara tidak dihadapan penguasa langsung. Namun mereka bicara lantang hanya di medsos, media masa, mimbar jumat, mimbar demonstrasi atau mimbar bebas lainnya.

Para salaf terdahulu mengingkari kemungkaran penguasa di depan penguasa, kalau memang itu ada maslahatnya. Bukan di forum lain yang penguasa tidak ada dihadapannya.

Perhatikan kisah berikut ini, bagaimana para salaf mengingkari penguasa secara terbuka di depan penguasa.

Berkata Umar bin Khattab radhiyallahu anhu :

أَيُّهَا النَّاسُ، مَا إِكْثَارُكُمْ فِي صُدُق النِّسَاءِ وَقَدْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وأصحابه وإنماالصدقات فِيمَا بَيْنَهُمْ أَرْبَعُمِائَةِ دِرْهَمٍ فَمَا دُونَ ذَلِكَ. وَلَوْ كَانَ الْإِكْثَارُ فِي ذَلِكَ تَقْوًى عِنْدَ اللَّهِ أَوْ كَرَامَةً لَمْ تَسْبِقُوهُمْ إِلَيْهَا. فَلا أعرفَنَّ مَا زَادَ رَجُلٌ فِي صَدَاقِ امْرَأَةٍ عَلَى أَرْبَعِمِائَةِ دِرْهَمٍ قَالَ: ثُمَّ نَزَلَ فَاعْتَرَضَتْهُ امْرَأَةٌ مِنْ قُرَيْشٍ فَقَالَتْ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ، نَهَيْتَ النَّاسَ أَنْ يَزِيدُوا النِّسَاءَ صَدَاقَهُمْ عَلَى أَرْبَعِمِائَةِ دِرْهَمٍ؟ قَالَ: نَعَمْ. فَقَالَتْ: أَمَا سَمِعْتَ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ فِي الْقُرْآنِ؟ قَالَ: وَأَيُّ ذَلِكَ؟ فَقَالَتْ: أَمَا سَمِعْتَ اللَّهَ يَقُولُ: {وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا [فَلا تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا] } [النساء: 20] قال: فقال: اللَّهُمَّ غَفْرًا، كُلُّ النَّاسِ أَفْقَهُ مِنْ عُمَرَ. ثُمَّ رَجَعَ فَرَكِبَ الْمِنْبَرَ فَقَالَ: إِنِّي كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ أَنْ تَزِيدُوا النِّسَاءَ فِي صَدَاقِهِنَّ عَلَى أَرْبَعِمِائَةِ دِرْهَمٍ، فَمَنْ شَاءَ أَنْ يُعْطِيَ مِنْ مَالِهِ مَا أَحَبَّ.

"Hai manusia, mengapa kalian berbanyak-banyak dalam mengeluarkan maskawin untuk wanita, padahal dahulu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabatnya membayar maskawin mereka di antara sesama mereka hanya empat ratus dirham atau kurang dari itu. Seandainya memperbanyak maskawin merupakan ketakwaan di sisi Allah atau suatu kemuliaan, niscaya kalian tidak akan dapat mendahului mereka dalam hal ini. Sekarang aku benar-benar akan mempermaklumatkan, hendaknya seorang lelaki jangan membayar maskawin kepada seorang wanita dalam jumlah lebih dari empat ratus dirham." Masruq melanjutkan kisahnya, bahwa setelah itu Khalifah Umar turun dari mimbarnya, tetapi ada seorang wanita dari kalangan Quraisy mencegatnya dan mengatakan kepadanya, "Wahai Amirul Mu’minin, engkau melarang orang-orang melebihi empat ratus dirham dalam maskawin mereka?" Khalifah Umar menjawab, "Ya." Wanita itu berkata.”Tidakkah engkau mendengar apa yang telah diturunkan oleh Allah dalam Al-Qur'an?" Khalifah Umar bertanya, "Ayat manakah yang engkau maksudkan?" Wanita itu menjawab, "Tidakkah engkau pernah mendengar bahwa Allah Ta'ala telah berfirman: 'sedangkan kalian telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak' (An-Nisa: 20), hingga akhir ayat." Maka Khalifah Umar berkata.”Ya Allah, ampunilah aku sesungguhnya orang ini lebih pandai daripada Umar." Kemudian Khalifah Umar kembali menaiki mimbar, dan berkata.”Hai manusia sekalian. sesungguhnya aku telah melarang kalian melebihi empat ratus dirham dalam membayar maskawin wanita. Sekarang barang siapa yang ingin memberi mahar dari hartanya menurut apa yang disukainya, ia boleh melakukannya." (HR. Imam Ahmad). (Tafsir Ibnu Katsir).

Perhatikan kisah Gubernur Marwan bin Al Hakam di Madinah, yang mengubah tata cara shalat’ Id menjadi seperti shalat Jumat (mendahulukan khuthbah sebelum shalat) agar jamaah shalat tidak pulang saat mendengarkan khuthbah. Gubernur itu pun ditegur langsung oleh Katsir bin Ash Shalt rahimahullah.

Perhatikan kisahnya :

أَوَّلُ مَنْ بَدَأَ بِالْخُطْبَةِ يَوْمَ الْعِيدِ قَبْلَ الصَّلَاةِ مَرْوَانُ فَقَامَ إِلَيْهِ رَجُلٌ فَقَالَ الصَّلَاةُ قَبْلَ الْخُطْبَةِ فَقَالَ قَدْ تُرِكَ مَا هُنَالِكَ فَقَالَ أَبُو سَعِيدٍ أَمَّا هَذَا فَقَدْ قَضَى مَا عَلَيْهِ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ

“Orang pertama yang berkhuthbah pada Hari Raya sebelum shalat Hari Raya didirikan ialah Marwan. Lalu seorang lelaki berdiri dan berkata kepadanya, “Shalat Hari Raya itu hendaknya dilakukan sebelum membaca khuthbah!”

Marwan menjawab, “Sungguh, apa yang ada dalam khuthbah sudah banyak ditinggalkan.” Kemudian Abu Said berkata, “Sungguh, orang ini [laki-laki yang menegur Marwan] telah memutuskan [melakukan] sebagaimana yang pernah aku dengar dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, bersabda: “Barang siapa di antara kamu melihat kemungkaran hendaklah ia mencegah kemungkaran itu dengan tangannya. jika tidak mampu, hendaklah mencegahnya dengan lisan, jika tidak mampu juga, hendaklah ia mencegahnya dengan hatinya. Itulah selemah-lemah iman.” (H.R. Muslim).

Dalam kisah lain disebutkan Umarah bin Ruaibah, bahwa ia melihat Bisyr bin Marwan mengangkat kedua tangannya ketika di atas mimbar, lalu ia (‘Umarah) berkata kepadanya:

قَبَّحَ اللَّهُ هَاتَيْنِ الْيَدَيْنِ لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا يَزِيدُ عَلَى أَنْ يَقُولَ بِيَدِهِ هَكَذَا وَأَشَارَ بِإِصْبَعِهِ الْمُسَبِّحَةِ

“Semoga Allah memburukkan kedua tanganmu ini. Sungguh aku telah melihat Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak melebihkan tatkala sedang berdo’a selain seperti ini, sambil mengangkat jari telunjuknya.” (HR. Muslim, Abu Daud dan At Tirmidzi). 

Begitulah para salaf yang menegur secara langsung secara terbuka di depan penguasa. Dan itu jihad yang paling besar, karena resikonya berbahaya bagi dirinya. Kalau pemimpin marah, maka siap-siaplah menerima hukuman.

Maka jika tidak ada kemaslahatannya menasehati secara terbuka dihadapan penguasa, lebih baik menasehati secara tersembunyi itu lebih maslahat. Silahkan baca disini mengenai menasehati pemimpin secara tersembunyi. (https://www.facebook.com/share/p/jSyenYy92kyVKDdU/).

Berkata Syekh Utsaimin rahimahullah :

أما المنكرات الشائعة فأنكرها، لكن كلامنا على الإنكار على الحاكم مثل أن يقوم الإنسان في المسجد ويقول مثلا: الدولةظلمت، الدولة فعلت، فيتكلم في الحكام بهذه الصورة العلنية، مع أن الذي يتكلم عليهم غير موجودين في المجلس.

وهناك فرق بين أن يكون الأمير أوالحاكم الذي تريد أن تتكلم عليه بين يديك وبين أن يكون غائبا،لأن جميع الإنكارات الواردة عن السلف كانت حاصلة بين يدي الأمير أو الحاكم، الفرق أنهإ اذا كان حاضرا أمكنه أن يدافع عن نفسه، ويبين وجهة نظره، وقد يكون مصيبا ونحن المخطئون ،لكن إذا كان غائبا لم يستطع أن يدافع عن نفسه وهذا من الظلم، فالواجب أن لا يتكلم على أحد من ولاة الأمور في غيبته، فإذا كنت حريصا على الخير فاذهب إليه وقابله وانصحه بينك وبينه

“Ingkarul mungkar terhadap kemungkaran yang terjadi di masyarakat itu wajib dilakukan. Adapun pendapat kami mengenai mengingkari penguasa, semisal seseorang di dalam masjid (berceramah) mengatakan: “pemerintah ini zalim”, atau berbicara tentang pemerintah dengan cara demikian secara terang-terangan (ini tidak diperbolehkan). Dalam keadaan bahwa para pejabat pemerintah yang ia bicarakan tidak ada di hadapannya dalam majelis tersebut.

Tentunya ada perbedaan antara keadaan anda berada di hadapan amir (pemimpin) atau hakim yang ingin anda ingkari, dengan keadaan anda tidak berada di hadapannya. Karena ingkarul mungkar yang dilakukan para salaf itu terjadi di hadapan amir atau hakim langsung.

Perbedaannya yaitu, jika amir atau hakim tersebut berada di depannya, ketika diingkari ia bisa bisa memberikan pembelaan, ia juga bisa memberikan penjelasan dan sisi pandang yang lain. Dan terkadang memang mereka yang benar, yang salah adalah kita. Adapun jika mereka tidak ada di hadapan kita, mereka tidak bisa membela diri mereka, dan ini adalah sebuah kezaliman.

Maka wajib kita untuk tidak mengatakan tentang keburukan penguasa ketika bukan di hadapannya. Jika seseorang bersemangat untuk melakukan kebaikan, maka pergilah ke hadapan penguasa, bertatap muka dengannya, nasehati ia secara langsung” (Liqa Baabil Maftuh rekaman no. 62, http://audio.islamweb.net/audio/Fulltxt.php?audioid=111530).

AFM

Copas dari berbagai sumber