Kritikan, al-Jarh, Tahdzir, Nahyu Munkar dan sejenisnya adalah ibadah. Karena itu, sebagaimana ibadah lainnya, mestilah dipelajari segala ketentuan dan aturan yang digariskan ulama. Ketiadaan pemahaman dalam tema ini akan melahirkan mudharat bagi dakwah sekaligus kericuhan antar sesama penuntut ilmu dan juru dakwah.
Kitab al-Ibanah ‘an Kaifiyat at-Ta’amul ma’a al-Khilaf baina Ahli as-Sunnah wal Jama’ah adalah karya syaikh Abu Nashr Muhammad bin Abdullah al-Imam dan amat layak dikaji di hadapan para penuntut ilmu sebab mengurai sekian banyak prinsip, kaidah, rambu-rambu, instrumen, cara pandang dan etika berbeda pendapat dan pandangan bahkan dalam memberikan kritikan ilmiah antar sesama ahlussunnah wal jama’ah, sesuai judul yang dipilih penulis.
Penulisnya adalah syaikh pengajar di markaz Dar al-Hadits di Ma’bar, Yaman. Ulama yang disebut sebagai al-muhaddits al-murabbi/ahli hadits sekaligus pendidik itu diberikan taufik oleh Allah untuk menggabungkan kegiatan mengajar, dakwah dan juga menulis.
“Beliau adalah faqih bahir/ilmunya luas dan mendalam . .. dan kitab-kitab beliau lainnya menandakan beliau ini amat memahami fiqh al-waqi’ (realita dan problematika di medan dakwah -ed). ..” Kata syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab al-Wushabiy al-‘Abdaliy ketika memberikan pengantar terhadap kitab tersebut tertanggal 14/01/1431 Hijriah (hal. 6)
Karya yang tebalnya mencapai 302 halaman ini menampilkan sekian banyak kaidah dan prinsip dalam memandang ikhtilaf baik itu terkait masalah ilmiah maupun cara pandang terhadap pihak lain yang diklaim sebagai mukhalif/sosok yang menyelesihi sebuah pandangan. Penulis membagi poin pembahasan dalam lima pasal:
1. Pasal pertama:
sejumlah karakteristik, prinsip dan kaidah ahlussunnah wal jama’ah.
2. Pasal kedua:
Khilaf di antara ahlussunnah dan petunjuk Rasulullah shallallah alaihi wasallam dalam menangani hal tersebut disertai sebagian contoh kaidah dan ketentuan.
3. Pasal ketiga:
Cara bersikap dan berinteraksi dengan para ahli ilmu dalam masalah ijithadiyah yang mereka perselisihkan.
4. Pasal Keempat:
Ketentuan, etika dan prinsip dalam al-jarh dan ta’dil.
5. Pasal Kelima:
gambaran dan keadaan pihak/tokoh yang terkait dengan al-jarh dan at-ta’dil.
Di setiap pasal itulah penulis banyak memberikan kaidah dan cara pandang yang tepat, di antaranya:
•Kapan seseorang disebut sebagai ahlussunnah, kapan disebut tidak lagi ahlussunnah?
•Mestilah dibedakan kondisi ahlussunnah dalam hal apakah mendominasi/kuat atau tidak.
•Bedakan antara kritikan terhadap ahlussunnah dan kritikan terhadap ahlul bid’ah.
•Jenis-jenis khilaf.
•Sebab khilaf.
•Meninggalkan sebagian amal mustahab demi meraih hati orang lain.
•Ketentuan al-hajr yang syar’i.
•Pandangan sekelompok ulama ketika terjadi fitnah lebih baik dibanding dengan pendapat satu ulama.
•Perbedaan masail khilafiah dengan masail ijtihadiah.
•Ijtihad seorang ulama tidak disebut sebagai hukum Allah.
•Siapa yang mencela ahlul ijtihad maka dia sejatinya yang tercela.
•Orang yang berijtihad tidaklah berdosa dan tidak boleh meng-hajr orang yang mengamalkannya.
•Tidak memberikan rasa hormat terhadap mukhalif dalam bab ijtihad akan mengantarkan pada sikap menjatuhkan kehormatan pihak lain.
•Kesalahan ijtihad yang akhirnya nampak jelas salah tidak melazimi kritikan tajam.
•Orang yang berijtihad terkadang salah, begitu pula orang yang mengingkari ijtihad juga terkadang salah.
•Banyaknya kebaikan seorang berilmu menjadi penghalang kritikan terhadapnya.
•Permasalahan pelik dan menimbulkan kegaduhan tidak semestinya dilempar dan diekpos ke publik.
•Mengutamakan hilangnya mafsadat besar dibanding meraih maslahat kecil.
•Seorang pembelajar mestilah menyeleksi ucapan terbaik yang diucapkan gurunya sebelum dijadikan wejangan terhadap publik.
•Bedakan antara kritikan atas dasar mencintai kebenaran dengan kritikan atas dasar permusuhan dan kebencian.
•al-jarh dan ta’dil itu ada yang didasari ilmu dan juga ada yang didasari praduga kuat.
•Khilaf dalam jarh dan ta’dil sama seperti khilaf dalam ilmu lain.
•Tidak setiap aljarh terkait semua hal yang dikatakan tentang seorang ulama dan penuntut ilmu itu diterima.
•Tidak setiap jarh diterima.
•Tidak setiap jarh pada seseorang di sebuah tema melazimkan ia di-jarh juga di tema-tema lain.
•Haruslah adil dan beretika ketika melayangkan jarh/ta’dil.
•Ada jarh yang ditolak, ada pula ta’dil yang ditolak.
•Kapan seseorang disebut imam dalam jarh dan ta’dil
•Siapa yang melakukan al-jarh dan ta’dil dengan format yang tidak sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan para ahli hadits tidaklah diterima.
•Melakukan al-jarh haruslah dipenuhi dengan sikap takwa, adil, dan ilmu.
•Jika seorang melakukan al-jarh dan ternyata al-jarh dan kritikannya nampak salah, dia harus ruju’ dan memberikan klarifikasi atas kesalahannya dalam melakukan jar/hal tersebut.
•Ucapan kritikan antar aqran/rekan sejawat/seperguruan/selevel umumnya tidak diterima mengingat begitu sering ditengarai hasad dan kebencian.
•Ucapan jarh yang melampaui batas tidak dijadikan sandaran.
•Para ulama dan penuntut ilmu yang menjadi korban tahdzir dan aljarh serampangan akan mendapat kebaikan dan Allah tinggikan derajat jika berusaha bersabar.
•Dan lain-lain yang tidak sempat kami tulis disini.
“Jelas sekali kitab ini adalah sebuah pembahasan yang akan membantu manhaj salaf dan salafiyin. Para cucu -generasi selanjutnya- di setiap penjuru dan tempat akan mengambil manfaat dari tema ini. Aku yakin dan memastikan sekiranya para penuntut ilmu jika memberikan perhatian dan membaca kitab ini dan kitab lain serupa maka ini akan menjadikan mereka jauh dari fitnah -dan perseteruan-,” kata syaikh Abdul Aziz bin Yahya al-Bura’iy dalam pengantar (hal. 7)
Kitab yang disusun oleh salah satu murid syaikh Muqbil rahimahullah ini telah dimuraja’ah dan diberikan pengantar oleh lima syaikh yamaniy:
1. syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab al-Wushabiy al-‘Abdaliy
2. syaikh Abdul Aziz bin Yahya al-Bura’iy.
3. syaikh Abdullah Utsman ad-Dzammariy
4. syaikh Muhammad bin Shaleh as-Shaumaliy
5. syaikh Utsman bin Abdillah as-Salimiy, hafidzahumullah.
____
Yani Fahriansyah