Sebagian ikhwah masih mempermasalahkan terjemahan istiwâ' dengan bersemayam.
Sekali lagi kami katakan. Istiwâ' itu bahasa Arab dan bersemayam itu Bahasa Indonesia.
Dan bersemayam itu bukan hanya duduk maknanya: ada berbaring, menetap, tinggal, diam, terpatri, dan lainnya.
Dan bersemayam itu akan bertemu dengan makna bahasa Arab di makna istiqrâr (menetap).
Kita gunakan contoh lain bersemayam: "wajahmu selalu bersemayam di hatiku."
Apakah maknanya wajahmu duduk dalam hatiku ?
Dan ketika dikatakan raja bersemayam di atas singgasana atau ranjang kerajaannya. Apakah makna pasti duduk ?
Belum tentu, bisa berbaring, bisa duduk. Yang inti semuanya bersemayam untuk menerangkan keberadaan di atas ketinggian.
Sehingga jangan terlalu memaksakan untuk menyamakan uslûb bahasa Arab dengan bahasa Indonesia yang tidak sama.
Apakah ia juga ingin mengatakan bahwasanya makna Allâh maha tinggi itu salah tapi harus Al-'Aliy ? Karena tinggi diantara maknanya adalah luhur atau mulia dalam KBBI ?
Misal: Si Fulân menduduki posisi yang lebih tinggi dari saya, ini bukan makna hakekat tapi gaya bahasa menunjukkan kekuasaannya si fulân lebih luas cakupannya daripada yang berucap.
Sehingga apakah salah jika menerjemahan Al-'Aliy dengan Yang Maha tinggi ?
Tinggi itu bisa bermakna hakekat dan bisa bermakna kiasan dalam uslûb Indonesia. Sama dengan bersemayam bisa bermakna menetap, bisa bermakna duduk, bisa bermakna berbaring, bisa bermakna tinggal, terpatri, diam, stabil, bertakhta, berkedudukan, berdomisili, dan lain sebagainya.
Kalau Al-'Aliy bisa diterjemahkan Maha tinggi yang ini juga merupakan sifat, maka istiwâ' bisa diterjemahkan pada bersemayam karena istiwâ' juga merupakan sifat.
Haruskah makna yang banyak dipaksakan jadi 1 makna saja menjadi hakekat saja atau kiasan saja ?.
Sekali lagi jangan benturkan uslûb bahasa yang tidak sama, dan jangan memaksakan pemahaman yang luas untuk menyesuaikan pada 1 pemahaman.
Ustadz dihyah abdusalam