Kemarin ada sebuah komentar terhadap postingan seorang doktor terkait sebuah riwayat tabarruk Imam Syafi’iy rahimahullah di kubur imam Abu Hanifah rahimahullah, di mana salah satu rawinya adalah Mukram bin Ahmad. Riwayat itu sendiri ditampilkan Khatib al-Baghdadiy dalam Tarikh-nya. Doktor yang dimaksud menilai bahwa riwayat tersebut tidak valid mengingat adanya vonis imam ad-Daruquthniy bahwa secara umum kisah terkait manaqib Abu Hanifah yang dikumpulkan oleh rawi Mukram bin Ahmad semuanya dikarang-karang oleh Ahmad bin al-Mughallis al-Himmaniy. Berdasarkan ini, doktor -hafidzahullah- menilai adanya tadlis yang disinyalir dilakukan oleh Mukram bin Ahmad.
Nah komentar yang saya baca terkait postingan tersebut mempertanyakan kenapa bisa seorang tsiqah dinilai melakukan tadlis? Bukankah menilai rawi tsiqah melakukan tadlis artinya menganggap bahwa rawi tsiqah tersebut melakukan kedustaan? Demikian kira-kira sejumlah poin yang dipertanyakan sekaligus sebagai serangan terhadap sang doktor -hafidzahullah-
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, saya ingin sampaikan bahwa status hukum terhadap sebuah hadits/riwayat/isnad tidak hanya ditentukan oleh keadaan para perawi saja. Sebagian para peniliti hadits, dalam menentukan keabasahan sebuah hadits, mencukupkan diri hanya dengan menelusuri keadaan para perawi, baik itu terkait al-jarh, at-ta’dil atau terkait jahalah. Maka, dalam pandangan mereka, siapa yang tsiqah pastilah haditsnya diterima; siapa yang dhaif, majhul atau tidak mendengar dari seorang syaikh/guru/rawi di atasnya pastilah didhaifkan haditsnya; siapa yang kaddzab atau tertuduh kaddzab pastilah haditsnya maudhu’.
Demikian menurut mereka itu tanpa beranjak menelusuri ilal hadits dan melakukan perbandingan riwayat-riwayat yang dibawakan para perawi. Padahal perbandingan riwayat dan menggali lebih dalam untuk mencari “mutiara ilal” amat penting agar diketahuilah kesalahan seorang perawi walaupun ia tsiqah atau nantinya diketahuilah poin benar yang dibawakan si dhaif. Atas dasar inilah penetepan keabsahan sebuah hadits, tidak semata “si perawi tsiqah sehingga diterima” atau “dianya dhaif lalu ditolak.”
Karena itu imam Ibnu Rajab, dalam Fathul Bari, menyebutkan:
“Kebanyakan mereka hanya menilai ke-tsiqahan para perawi hadits sehingga menilai hadits tersebut shahih. Mereka menyangka bahwa semua hadits yang diriwayatkan para tsiqah -otomatis- shahih namun mereka tidak memiliki kecerdasan dalam mendalami ilmu ilal hadits.”
Intinya ketika mendapati sebuah riwayat memiliki para perawi yang secara umum tsiqah, tidak serta merta haditsnya dilabeli shahih. Harus ditelusuri apakah hadits/riwayat yang diketengahkan tersebut bebas dari illah. Karena itu para ulama ketika membawakan definisi hadits shahih, menambahkan keterangan “bebas dari ilal/cacat” selain adanya keterangan “diriwayatkan oleh perawi yang memiliki ‘adalah lagi dhabith dengan sanad tersambung.” Ini tak lain karena si tsiqah bisa saja keliru dalam meriwayatkan hadits sebab perawi sama seperti manusia lain yang dihinggapi salah dan alfa.
Ibnu Ma’in menilai Yahya bin ‘Adam adalah perawi tsiqah jika meriwayatkan dari ats-Tsauriy. Namun Ibnu Ma’in tetap memvonis bahwa tafarrud yang dilakukan Yahya bin Adam dari Sufyan ats-Tsauriy menjadikan hadits Yahya sebagai hadits munkar. Penilaian mungkar ini pun dilakukan tokoh lain selain Ibnu Ma'in.
______
(Bersambung)
Ustadz yani fahriansyah