Terdapat beberapa perkataan al-Imam Ibn Qudamah –rahimahullah– yang dijadikan hujjah oleh sebagian Asya’irah bahwa beliau adalah seorang yang bermanhaj tafwidh (makna) terhadap sifat-sifat Allah Ta’ala. Benarkah klaim tersebut ? Berikut pembahasannya.
Diantara perkataan beliau yang dimaksud adalah ;
ومذهب السلف رحمة الله عليهم الإيمان بصفات الله تعالى وأسمائه التي وصف بها نفسه في آياته وتنزيله أو على لسان رسوله من غير زيادة عليها ولا نقص منها ولا تجاوز لها ولا تفسير ولا تأويل لها بما يخالف ظاهرها ولا تشبيه بصفات المخلوقين ولا سمات المحدثين بل أمروها كما جاءت وردوا علمها إلى قائلها ومعناها إلى المتكلم بها وقال بعضهم ويروى ذلك عن الشافعي رحمة الله عليه آمنت بما جاء عن الله على مراد الله وبما جاء عن رسول الله على مراد رسول الله صلى الله عليه وسلم وعلموا أن المتكلم بها صادق لا شك في صدقه فصدقوه ولم يعلموا حقيقة معناها فسكتوا عما لم يعلموه
“Madzhab Salaf rahmatullahi ‘alaihim adalah mengimani sifat-sifat Allah Ta’ala dan nama-nama-Nya yang Dia menyifati diri-Nya dengannya dalam ayat-ayat-Nya (Al-Qur’an) atau pada lisan Rasul-Nya –shallallahu ‘alaihi wasallam- tanpa menambahinya, tanpa menguraninya, tanpa melampuinya, tanpa menafsirkannya dan tanpa pula mentakwilnya yang menyelisihi zhahirnya. Tidak pula mentasybih dengan sifat-sifat makhluk. Namun membiarkannya sebagaimana datangnya dan mengembalikan ilmunya (mengetahui tentangnya) kepada pengucapnya dan maknanya kepada yang membicarakannya. Sebagian dari mereka berkata; “Diriwayatkan yang demikian dari al-Syafi’i rahmatullahi ‘alaihi bahwa beliau berkata, “Aku beriman dengan apa yang datang dari Allah berdasarkan apa yang dimaksud oleh-Nya dan dengan apa yang datang dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdasarkan apa yang beliau maksud.” Mereka (salaf) mengetahui bahwa yang membicarakannya adalah benar, tidak ada keraguan padanya. Mereka membenarkannya dan tidak mengetahui hakikat maknanya. Maka mereka diam dari apa yang mereka tidak mengetahuinya.” [Dzammut-Ta’wil hal. 11]
Berdasarkan kutipan ini mereka beranggapan bahwa Ibn Qudamah adalah seorang mufawwidh dikarenakan :
- Perkataan beliau “mengembalikan ilmu dan maknanya kepada pengucapnya” sebagaimana beliau menukil dari al-Syafi’i “mengimani berdasarkan apa yang dimaksud oleh Allah dan Rasul-Nya”. Hal ini dianggap sebagai bentuk tafwidh makna oleh mereka yang menyematkan tafwidh kepada Ibn Qudamah.
- Perkataan beliau “Mereka membenarkannya dan tidak mengetahui hakikat maknanya”.
Namun dua poin di atas gugur dengan bukti :
Pertama, apa yang dinukil dari al-Syafi’i rahimahullah yaitu “berdasarkan apa yang dimaksud oleh Allah dan Rasul-Nya” yang dianggap sebatas zhahir lafazh dan maknanya diserahkan kepada Allah dan Rasul-Nya, ini hanya akal-akalan mereka, karena perkataan al-Syafi’i tersebut sama sekali tidak menunjukkan penafian terhadap makna zhahir. Tidak ada dari perkataan tersebut yang menafikan kita untuk kemudian bertanya “lalu apa yang dimaksud oleh Allah dan Rasul-Nya ?”
Karena Ibn Qudamah sendiri pada ucapan beliau di atas sama sekali tidak mengingkari zhahirnya, yaitu pada perkataan beliau “dan tanpa pula mentakwilnya yang menyelisihi zhahirnya”. Mereka yang menyematkan tafwidh kepada Ibn Qudamah hanya mencomot perkataan beliau pada bagian akhir dan tidak memperhatikan bagian penting ini.
Zhahir yang dimaksud oleh Ibn Qudamah tidak lain adalah zhahir makna. Pada kitab yang sama ketika beliau menjelaskan pengertian “zhahir” beliau berkata ;
قلنا نحن لم نتأول شيئا وحمل هذه اللفظات على هذه المعاني ليس بتأويل لأن التأويل صرف اللفظ عن ظاهره وهذه المعاني هي الظاهر من هذه الألفاظ بدليل أنه المتبادر إلى الأفهام منها وظاهر اللفظ هو ما يسبق إلى الفهم منه حقيقة كان أو مجازا
“Kami katakan; ‘Kami tidaklah mentakwil sesuatu pun (dari ayat pada QS al-Hadid : 4). Dan (pengertian) lafazh-lafazh tersebut dibawa kepada makna-makna ini. Dan ini bukan takwil, karena takwil adalah memalingkan lafazh dari (makna) zhahirnya. Sedangkan makna-makna ini adalah zhahir dari lafazh-lafazh tersebut dengan dalil bahwa ia adalah yang langsung terfahami dari setiap lafazh tersebut. Jadi zhahir lafazh tersebut ialah yang langsung terfahami baik apakah ia dalam bentuk hakiki atau majaz.” [Dzammut-Ta’wil hal. 45]
Ucapan beliau di atas dalam rangka membantah mereka yang beranggapan bahwa beliau dan ulama lainnya mentakwil ayat “wahuwa ma’akum ainamaa kuntum” padahal beliau tidaklah mentakwil melainkan memahami berdasarkan makna zhahirnya. Kami telah membahasnya pada artikel sebelumnya disini.
Ini adalah bukti yang sudah sangat jelas bahwa beliau bukan mufawwidh. Dengan demikian kita mengetahui bahwa yang dimaksud “mengembalikan ilmu dan maknanya kepada Allah dan Rasul-Nya” atau “berdasarkan apa yang dimaksud oleh Allah dan Rasul-Nya” adalah mengembalikan kepada makna zhahirnya nushush itu sendiri karena seperti itulah yang dikhabarkan oleh Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam.
Perlu pembaca ketahui kitab Dzammut-Ta’wil ini adalah kitab yang disusun Ibn Qudamah dalam mengecam dan membantah metode takwil. Telah maklum bahwa takwil adalah memalingkan dari makna zhahir kepada makna lainnya. Maka tidaklah beliau membantah takwil kecuali dengan membela makna zhahirnya. Tentu lucu sekali jika beliau membantah takwil dengan sesuatu tanpa makna (tafwidh) ?!!
Kedua, adapun perkataan beliau “mereka tidak mengetahui hakikat maknanya” maka ini pun sama sekali tidak menunjukkan tafwidh makna karena “hakikat makna” yang dimaksud tidak lain adalah “kaifiyat”. Darimana kita bisa mengetahuinya? Telah maklum bahwa dalam memahami perkataan seorang ulama maka kita perlu melihat keseluruhan perkataannya dalam bab tersebut dan bagaimana metodenya dalam penggunaan setiap lafazh agar bisa diketahui maksud sesungguhnya dengan menelusuri kitab-kitabnya. Jika tidak, maka akan menimbulkan pemahaman yang setengah-setengah bahkan berdusta atas nama ulama karena telah berkata dengan apa yang sebenarnya tidak dimaksud oleh ulama tersebut.
Contoh, terdapat ulama yang menggunakan diksi “makna” tetapi yang dimaksud adalah “kaifiyat”. Al-Hafizh Abul-Qasim al-Ashbahani menyebutkan bahwa Yazid bin Harun ketika meriwayatkan suatu hadits tentang ru’yah di majelisnya, lalu seseorang berkata ;
يا أبا خالد، ما معنى هذا الحديث؟ فغضب وحرد، وقال: ... ويلك مَنْ يدري كيف هذا!
“Wahai Abu Khalid, apa makna hadits ini? Maka beliau (Yazid bin Harun) marah dan berkata; “…Celakalah engkau, siapakah yang mengetahui “kaif”-nya (bagaimananya) ?” [al-Hujjah fi Bayan al-Mahajjah 1/208-209]
Begitu pula dengan Ibn Qudamah, di tempat lain beliau pun menggunakan lafazh “hakikat makna” pada hal-hal yang justru disepakati kita semua diketahui maknanya. Beliau berkata;
الإيمان بكل ما أخبر به الرسول ويجب الإيمان بكل ما أخبر به النبي صلى الله عليه وسلم وصح به النقل عنه فيما شاهدناه، أو غاب عنا، نعلم أنه حق، وصدق، وسواء في ذلك ما عقلناه وجهلناه، ولم نطلع على حقيقة معناه، مثل حديث الإسراء والمعراج وكان يقظة لا مناما فإن قريشا أنكرته وأكبرته، ولم تنكر المنامات. ومن ذلك أن ملك الموت لما جاء إلى موسى عليه السلام ليقبض روحه لطمه ففقأ عينه فرجع إلى ربه فرد عليه عينه. ومن ذلك أشراط الساعة، مثل خروج الدجال ونزول عيسى ابن مريم عليه السلام فيقتله وخروج يأجوج ومأجوج، وخروج الدابة وطلوع الشمس من مغربها، وأشباه ذلك مما صح به النقل. وعذاب القبر ونعيمه حق وقد استعاذ النبي صلى الله عليه وسلم منه، وأمر به في كل صلاة وفتنة القبر حق، وسؤال منكر ونكير حق، والبعث بعد الموت حق
“Wajib mengimani semua yang dikhabarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang shahih dari beliau pada hal-hal yang kita menyaksikannya ataupun ghaib. Kita mengetahuinya bahwa beliau benar dan jujur, baik apakah hal tersebut adalah hal yang bisa kita mengerti (dicerna fikiran) ataupun kita tidak mengetahuinya. Dan tidak pula kita dapat mengetahui hakikat maknanya semisal hadits isra mi’raj, beliau dalam keadaan terjaga, bukan mimpi, karena kaum Quraisy mengingkarinya (dalam keadaan terjaga) namun tidak mengingkari mimpi-mimpi. Diantara hal tersebut juga adalah malaikat maut tatkala hendak mencabut ruh Nabi Musa ‘alaihis-salam, maka Nabi Musa memukul dan menusuk mata malaikat tersebut. Lalu ia kembali kepada Rabb-nya lalu matanya disembuhkan. Diantaranya pula adalah tanda-tanda hari Kiamat, seperti munculnya Dajjal, turunya ‘Isa bin Maryam ‘alaihis-salam lalu membunuhnya, keluarnya Ya’juj dan Ma’juj, keluarnya Dabbah, terbitnya matahari dari arah barat, dan yang semisalnya dari khabar yang shahih periwayatannya. Begitu juga siksa kubur dan nikmat kubur adalah benar adanya. Sungguh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berlindung darinya dan memerintahkan itu di setiap shalat. Fitnah kubuh benar adanya. Pertanyaan Munkar dan Nakir benar adanya. Kebangkitan setelah mati benar adanya…” [Lum’atul-I’tiqad hal. 28-31]
Demikian seterusnya termasuk tentang Surga dan Neraka (pada hal. 33). Maka orang bodoh mana yang akan mengatakan bahwa Ibn Qudamah tidak mengetahui makna Isra Mi’raj, tanda-tanda kiamat dan tidak mengetahui pula makna Surga dan Neraka?!!!
Walhasil, kita mengetahui bahwa lafazh “hakikat makna” yang digunakan oleh Ibn Qudamah tidak bermaksud sama sekali menafikan makna zhahir karena beliau menerapkannya baik pada khabar-khabar tentang sifat maupun selainnya.
Ketiga, perkataan beliau yang pertama di atas pada Dzammut-Ta’wil diucapkan pada seluruh sifat (dengan bentuk jamak). Beliau mengatakan; “Madzhab Salaf rahmatullahi ‘alaihim adalah mengimani sifat-sifat Allah Ta’ala dan nama-nama-Nya…” Dan sebagian sifat seperti al-sam’u, al-bashar, al-‘ilm dan al-qudrah tidaklah ditafwidh maknanya oleh Asya’irah, maka apakah orang-orang yang menyematkan tafwidh kepada Ibn Qudamah akan mengatakan bahwa beliau tidak mengetahui makna al-sam’u, al-bashar dan yang lainnya?!!!
Dengan demikian kita mengetahui bahwa beliau sama sekali tidak menafikan makna zhahir dari setiap sifat, karena ucapan beliau yang dianggap sebagai bentuk tafwidh oleh sebagian orang justru diterapkan beliau pada seluruh sifat. Ibn Qudamah tidaklah membedakan sebagian sifat dengan sebagian lainnya seperti halnya ahli kalam. Karena itu mereka akan sulit berhujjah dengan perkataan para ulama karena para ulama tidaklah membedakan antara al-sam’u, al-bashar dengan yad, wajh, dan yang lainnya.
Penjelasan ini serupa sebagai jawaban untuk syubhat lainnya yang mereka jadikan hujjah bahwa Ibn Qudamah adalah seorang mufawwidh dikarenakan perkataan beliau berikut ;
وكل ما جاء في القرآن أو صح عن المصطفى عليه السلام من صفات الرحمن وجب الإيمان به، وتلقيه بالتسليم والقبول، وترك التعرض له بالرد والتأويل والتشبيه والتمثيل . وما أشكل من ذلك وجب إثباته لفظا، وترك التعرض لمعناه ونرد علمه إلى قائله
“Setiap apa yang datang dalam Al-Qur’an atau yang shahih dari al-Musthafa (Nabi) shallallahu ‘alaihi wasallam berupa sifat-sifat Allah al-Rahman maka wajib mengimaninya, menerimanya, tidak menyelaminya dengan menolaknya, mentakwil, mentasybih dan mentamtsilnya. Apa yang isykal dari hal tersebut maka wajib menetapkannya secara lafazh, tidak menyelami maknanya dan mengembalikan ilmunya (mengetahui tentangnya) kepada pengucapnya.” [Lum’atul-I’tiqad hal 1-2]
Pertama, tidak ada pula dari ungkapan di atas yang menunjukkan beliau mentafwidh makna zhahirnya. Adapun perkataan beliau “apa yang isykal maka wajib menetapkannya secara lafazh” ini adalah benar, karena terkadang seseorang karena keterbatasan ilmu dan akalnya (naqsh) menjadi isykal dalam memahaminya. Maka bagi mereka wajib menetapkan lafazhnya karena itu “lebih selamat” ketimbang ia membayangkan Allah dengan yang tidak-tidak (tasybih) ataupun malah mentakwilnya karena ia sulit memahami zhahirnya. Hal ini sebagaimana perkataan al-Hafizh Ibn Rajab ;
وما أشكل فهمه منها، وقصر العقل عن إدراكه، وكل إلى عالمه
“Dan apa yang mengisykali pemahamannya mengenainya dan kurangnya (daya) akalnya dalam mencapainya, diserahkan kepada yang mengetahuinya.” [Fath al-Bari li-Ibn Rajab 3/118]
Perhatikan perkataan beliau untuk menyerahkannya kepada yang mengetahuinya, ini menunjukkan bahwa tidak ada penafian terhadap substansinya bagi yang mengetahuinya.
Kedua, lagi-lagi Ibn Qudamah mengucapkan yang demikian pada seluruh sifat. Jika penjelasan di atas ditolak, maka apakah ada yang berani dan kurang ajar mengatakan bahwa beliau tidak mengerti makna al-sam’u, al-bashar, al-‘ilm dan yang lainnya?!!!
Ketiga, pun pada kitab yang sama, pada pasal “Dzikru ba’dhil-āyāt wal-ahādîts al-wāridah fi al-shifāt” setelah menyebutkan khabar-khabar seputar sifat dari Al-Qur’an dan Hadits, Ibn Qudamah mengatakan ;
فهذا وما أشبهه مما صح سنده وعدلت رواته، نؤمن به، ولا نرده ولا نجحده ولا نتأوله بتأويل يخالف ظاهره، ولا نشبهه بصفات المخلوقين
“(Riwayat) ini dan yang serupa dengannya dari yang shahih sanadnya dan adil para perawinya, maka kami mengimaninya, kami tidak menentangnya, tidak mentakwilnya dengan apa yang menyelisihi zhahirnya. Dan kami tidak menyerupakannya (tasybih) dengan sifat-sifat makhluk.” [Lum’atul-I’tiqad hal. 11]
Dan telah kita bahas sebelumnya mengenai maksud zhahir dari Ibn Qudamah, tidak lain adalah makna zhahir dari nushush itu sendiri.
Syubat terakhir yang dilontarkan oleh sebagian orang dalam menyematkan tafwidh kepada Ibn Qudamah adalah perkataan beliau berikut ;
وأما إيماننا بالآيات وأخبار الصفات فإنما هو إيمان بمجرد الألفاظ التي لا شك في صحتها ولا ريب في صدقها وقائلها أعلم بمعناها فآمنا بها على المعنى الذي أراد ربنا تبارك وتعالى فجمعنا بين الإيمان الواجب ونفي التشبيه المحرم
“Adapun keimanan kami kepada ayat-ayat dan khabar-khabar tentang sifat-sifat Allah maka keimanan kami tersebut sebatas pada lafazh-lafazhnya yang tidak diragukan keshahihannya dan kebenarannya. Pengucapnya lebih mengetahui makna-maknanya, kami mengimaninya kepada makna yang dikehendaki oleh Rabb kami –Tabaraka Wa Ta’ala–. Maka kami menghimpun antara keimanan yang wajib dan penafian terhadap tasybih yang diharamkan.” [Tahrim al-Nazhar fi Kutub al-Kalam hal. 59]
Perkataan beliau “mengimani kepada makna yang dikehendaki Allah” tidaklah menafikan untuk mengetahui makna zhahir yang dikehendaki oleh-Nya sebagaimana telah kita jelaskan pada awal bahasan di atas. Lalu apakah perkataan beliau “keimanan kami sebatas pada lafazhnya” menunjukkan bahwa beliau tidak mengetahui maknanya?
Jika dikatakan “ya” maka konsekuensinya adalah orang yang mengamininya harus mengatakan bahwa Ibn Qudamah tidak pula mengetahui makna al-sam’u, al-bashar, al-‘ilm dan al-qudrah. Karena –sekali lagi– beliau mengucapkannya pada seluruh sifat. Beliau tidak membedakan sebagian sifat dengan sebagian sifat lainnya seperti ahli kalam. Justru beliau mengecam ahli kalam sebagaimana judul kitab tersebut “Tahrim al-Nazhar fi Kutub al-Kalam” yang berarti haram untuk menelusuri dan mempelajari kitab-kitab ahli kalam.
Jika memang Ibn Qudamah tidak sejalan dengan tafwidh ahli kalam karena beliau sendiri mengecamnya, lalu apa yang beliau maksud di atas? Perlu diketahui bahwa dalam kitab ini beliau turut menggunakan ungkapan yang menafikan makna namun tertuju kepada “kaifiyat”. Beliau berkata;
لا حاجة لنا إلى علم معنى ما أراد الله تعالى من صفاته جل وعلا ، فإنه لا يراد منها عمل ، ولا يتعلق بها تكليف ، سوى الإيمان بها ، ويمكن الإيمان بها من غير علم معناها ، فإن الإيمان بالجهل صحيح ، فإن الله تعالى أمر بالإيمان بملائكته وكتبه ورسله وما أنزل إليهم وإن كنا لا نعرف من ذلك إلا التسمية
“Tidak ada keperluan bagi kita untuk mengetahui “makna” yang dikehendaki oleh Allah Ta’ala dari sifat-sifat-Nya. Karena amal tidak dikehendaki untuk hal itu dan tidak ada kaitannya juga dengan taklif seorang hamba kecuali mengimaninya. Dan mengimaninya dapat dilakukan dengan tanpa mengetahui maknanya. Sesungguhnya iman terhadap sesuatu yang tidak diketahui adalah sah. Karena Allah Ta’ala memerintahkan untuk mengimani malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya dan apa yang diturunkan kepada mereka, meski kita tidak mengetahuinya kecuali sebatas penamaannya saja.” [Tahrim al-Nazhar fi Kutub al-Kalam hal. 51-52]
Lalu apakah akan dikatakan bahwa sang Imam besar ini tidak mengetahui makna malaikat, rasul dan kitab-kitab samawi ??!!!!
Walhasil apa yang beliau sebutkan sebelumnya yaitu “mengimani sebatas lafazh” tidak bermaksud menafikan pengertian (makna) zhahirnya karena penafian terhadap diksi “makna” pada kitab beliau tersebut tertuju kepada kaifiyat. Sehingga penggunaan diksi “lafazh” yang beliau ungkapan dapat dimengerti bahwa hal itu turut mencakup substansi zhahirnya.
Silahkan saja jika ada yang tidak terima hal ini, maka mereka akan memiliki dua konsekuensi fatal sebagai berikut :
- Ibn Qudamah tidak mengerti makna al-sam’u, al-bashar, al-‘ilm, al-qudrah dan yang lainnya dari sifat-sifat yang ditetapkan Asya’irah.
- Ibn Qudamah tanaqudh (kontradiksi). Karena sesekali beliau mentafwidh, namun di tempat lain beliau menetapkan makna zhahirnya seperti dalam Dzammut-Ta’wil.
Bukti lain bahwa beliau bukan seorang mufawwidh adalah beliau menetapkan makna zhahir dari sifat kalam yakni dengan huruf dan suara. Berbeda halnya dengan Asyai’rah dimana mereka menetapkan kalam bukan dengan pengertian zhahirnya yang telah maklum. Menurut mereka kalam adalah tanpa huruf dan suara, karena yang demikian (huruf dan suara) dianggap tasybih terhadap sifat makhluk
Hal ini sebagaimana beliau memiliki kitab khusus yang membahas seputar penetapan huruf pada kalamullah dan mengkritik konsep kalam nafsi di dalamnya dengan judul “al-Shirath al-Mustaqim fi-Itsbat al-Harf al-Qadim”. Begitu pula beliau menetapkan ketinggian dzat Allah di atas ‘arsy pada kitab khususnya dengan judul “Itsbat Shifah al-‘Uluww”. Maka mufawwidh mana yang seperti ini??!!!
Beliau berkata;
“Adapun perkataan mereka bahwa Kalamullah tidak boleh ada huruf agar tidak menyerupai kalam manusia (makhluk), maka kami katakan; “Jawabannya: Pertama, sesungguhnya kesesuaian/kesamaan pada asal hakikat bukanlah tasybih sebagaimana kesesuaian pada sifat al-bahsar yaitu mencapai apa-apa yang dilihat, sifat al-sam’u yaitu mencapai apa-apa yang didengar dan sifat al-‘ilm yaitu mencapai apa-apa yang diketahui bukanlah tasybih. Begitu pula ini (huruf). Kedua, seandainya ini adalah tasybih maka tasybih mereka lebih buruk dan keji berdasarkan apa yang kami sebutkan. Ketiga, mereka jika menafikan sifat ini karena dianggap tasybih maka seyogyanya mereka menafikan sifat-sifat lainnya seperti al-wujud, al-hayah, al-sam’u, al-bashar dan yang lainnya. Keempat, kami tidak menafsirkan ini namun Al-Qur’an dan Al-Sunnah lah yang menafsirkannya sebagaimana telah lalu penjelasannya. Adapun perkataan mereka “kalian menafsirkan sifat ini” maka kami katakan, “Sesungguhnya yang tidak boleh ditafsirkan adalah hal mutasyabih yang para salaf diam dari menafsirkannya. Adapun sifat kalam tidak demikian halnya karena itu termasuk dari hal yang maklum (diketahui/dimengerti) di tengah-tengah makhluk, tidak ada keraguan padanya dan telah ditafsirkan oleh Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Kedua, sesungguhnya kami menafsirkannya dengan membawa pengertiannya berdasarkan hakikatnya dengan tafsir yang datang dari Al-Qur’an dan Al-Sunnah, sedangkan mereka menafsirkannya tidak dengan apa yang disebutkan Al-Qur’an dan Al-Sunnah, tidak pula berkesesuaian dengan hakikatnya dan tidak boleh disandarkan kepada Allah Ta’ala.” [al-Shirath al-Mustaqim fi Itsbat al-Harf al-Qadim hal. 43-44]
Perhatikan perkataan beliau “kesesuaian pada asal hakikat” ini adalah makna zhahir. Sebagaimana kita semua mengerti bahwa makna kalam (pembicaraan/ucapan) tidak lain dan tidak bukan adalah pasti dengan huruf dan suara. Dan Ibn Qudamah menetapkannya bagi Allah Ta’ala sesuai yang layak dengan keagungan-Nya.
Di kitab lain, beliau berkata sembari mengecam Abul-Hasan al-Asy’ari :
“Dan lafazh ini (maksudnya Al-Qur’an dengan huruf) berlaku umum di tengah-tengah manusia. Tidak ada seorang pun yang mengingkari dan menyelisihinya sampai datang al-Asy’ari yang mengingkarinya dan menyelisihi makhluk seluruhnya baik yang Muslim maupun kafir. Perkataannya tidak memiliki pengaruh di sisi Ahlul-Haqq (orang-orang yang berada di atas kebenaran). Tidaklah kebenaran-kebenaran itu ditinggalkan, begitu juga sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan kesepakatan (ijma’) umat karena perkataan al-Asy’ari kecuali orang yang dihilangkan taufik oleh Allah, dibutakan penglihatannya dan disesatkan dari jalan yang lurus. Mereka (Asy’ariyyah) juga berkata, “kalian telah mengatakan bahwa Allah berbicara dengan suara padahal tidak ada keterangan yang datang mengenai hal itu dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah”. Maka kami katakan, “Bahkan Al-Qur’an dan Al-Sunnah menyebutkannya serta kesepakatan Ahlul-Haqq.” [Hikayah al-Munazharah fil-Qur’an ma’a ba’dhi Ahlil-Bid’ah hal. 40. Tahqiq : ‘Abdullah bin Yusuf al-Judai’]
Sebenarnya masih banyak lagi yang hendak kami paparkan pada setiap poin di atas. Bagaimana beliau berhujjah pada masing-masing kitab beliau (Dzammut-Ta’wil, Tahrim al-Nazhar dan Lum’atul-I’tiqad) dengan perkataan para Imam yang sama sekali tidak menunjukkan tafwidh makna, namun ini akan terlalu berkepanjangan dan memakan tempat. Terlebih lagi Syaikhul-Islam Ibn Taimiyyah dan al-Imam Ibn al-Qayyim tidaklah memasukkan Ibn Qudamah ke dalam kelompok mufawwidhah. Sebaliknya keduanya memuji beliau bahkan Ibn al-Qayyim menukil perkataan Ibn Qudamah yang dianggap sebagai bentuk tafwidh oleh sebagian orang, ini menunjukkan bahwa perkataan beliau tersebut bukanlah tafwidh. Karena keduanya dikenal sangat kritis dalam mengkritik madzhab tafwidh.
Bagi mereka yang mengenal betul konsep madzhab ahli kalam, tentu menyadari bahwa semua yang diucapkan Ibn Qudamah di atas sangat bertolak belakang dengan prinsip madzhab mereka. Ibn Qudamah tidaklah memustahilkan zhahir nushush sifat bagi Allah Ta’ala, sedangkan ahli kalam sebaliknya. Karena itu tidak heran apabila Sa’id Faudah dari kalangan kontemporer madzhab mereka menyebut Ibn Qudamah sebagai berikut ;
Bagi mereka yang mengenal betul konsep madzhab ahli kalam, tentu menyadari bahwa semua yang diucapkan Ibn Qudamah di atas sangat bertolak belakang dengan prinsip madzhab mereka. Ibn Qudamah tidaklah memustahilkan zhahir nushush sifat bagi Allah Ta’ala, sedangkan ahli kalam sebaliknya. Karena itu tidak heran apabila Sa’id Faudah dari kalangan kontemporer madzhab mereka menyebut Ibn Qudamah sebagai berikut ;
“Ketahuilah sesungguhnya kalangan Hanabilah juga terpecah menjadi beberapa kelompok dalam memahami dzat Allah Ta’ala. Diantara mereka ada kalangan yang mentanzih yang mana pemimpin mereka adalah al-Imam Ahmad bin Hanbal, al-Imam Ibn ‘Aqil dan al-Imam Ibn al-Jauzi. Dan banyak dari kalangan muta’akhkhirin, diantara mereka adalah kalangan mujassimah semisal al-Qadhi Abu Ya’la, Ibn Qudamah al-Maqdisi, Ibn al-Zaghuni, Ibn Taimiyyah dan Ibn Qayyim al-Jauziyyah.” [al-Syarh al-Kabir ‘alaa al-‘Aqidah al-Thahawiyyah, Sa’id Faudah, hal. 24]
Terlepas dari tuduhan Sa’id Faudah kepada Ibn Qudamah sebagai mujassim, namun ini merupakan bukti yang makin menguatkan bahwa Ibn Qudamah bukan seorang mufawwidh. Perkataan beliau di atas sama sekali tidak menunjukkan tafwidh, justru sebaliknya yakni menetapkan zhahir nushush sifat -sebagaimana telah dijelaskan- yang karenanya Sa’id Faudah mengecapnya sebagai mujassim.
Kami akhiri pembahasan ini dengan mengutip diantara kecaman beliau lainnya terhadap Asy’ariyyah yang merupakan bukti lain bahwa beliau berlepas diri dari konsep tafwidh makna yang difahami Asya’irah yang kemudian disematkan kepada Ibn Qudamah. Beliau berkata ;
Terlepas dari tuduhan Sa’id Faudah kepada Ibn Qudamah sebagai mujassim, namun ini merupakan bukti yang makin menguatkan bahwa Ibn Qudamah bukan seorang mufawwidh. Perkataan beliau di atas sama sekali tidak menunjukkan tafwidh, justru sebaliknya yakni menetapkan zhahir nushush sifat -sebagaimana telah dijelaskan- yang karenanya Sa’id Faudah mengecapnya sebagai mujassim.
Kami akhiri pembahasan ini dengan mengutip diantara kecaman beliau lainnya terhadap Asy’ariyyah yang merupakan bukti lain bahwa beliau berlepas diri dari konsep tafwidh makna yang difahami Asya’irah yang kemudian disematkan kepada Ibn Qudamah. Beliau berkata ;
ولا نعرف في أهل البدع طائفة يكتمون مقالتهم، ولا يتجاسرون على إظهارها، إلاّ الزنادقة والأشعرية
“Kami tidak mengetahui satu kelompok pun dari ahli bid’ah yang menyembunyikan pendapat mereka dan tidak berani menampakkannya kecuali kalangan zindiq dan Asy’ariyyah.” [Hikayah al-Munazharah fil-Qur’an ma’a ba’dhi Ahlil-Bid’ah hal. 35]
ومن العجب أن إمامهم الذي أنشأ هذه البدعة رجل لم يعرف بدين ولا ورع ولا شيء من علوم الشريعة البتة ولا ينسب إليه من العلم إلا علم الكلام المذموم وهم يعترفون بأنه أقام على الاعتزال أربعين عاما ثم أظهر الرجوع عنه فلم يظهر منه بعد التوبة سوى هذه البدعة فكيف تصور في عقولهم أن الله لا يوفق لمعرفة الحق إلا عدوه ولا يجعل الهدى إلا مع من ليس له في علم الاسلام نصيب ولا في الدين حظ ثم إن هذه البدعة مع ظهور فسادها وزيادة قبحها قد انتشرت انتشارا كثيرا وظهرت ظهورا عظيما وأظنها آخر البدع وأخبثها وعليها تقوم الساعة وأنها لا تزداد إلا كثرة وانتشارا
“Dan yang mengherankan sesungguhnya Imam mereka (Abul-Hasan al-Asy’ari) yang membuat bid’ah ini adalah seorang yang tidak dikenal dengan Din, sikap wara dan tidak pula dikenal sama sekali dengan sesuatu pun dari ilmu Syari’at. Tidak ada padanya ilmu selain ilmu kalam yang tercela. Mereka mengakui bahwa ia berada di atas madzhab mu’tazilah selama 40 tahun kemudian menampakkan rujuk darinya, namun tidaklah ia menampakkan sesuatu setelah taubat kecuali bid’ah ini. Bagaimana bisa tergambarkan pada pikiran mereka bahwa Allah tidak memberikan taufik untuk mengetahui kebenaran kecuali melalui musuh-Nya dan tidak pula menjadikan petunjuk kecuali pada orang yang tidak ada padanya bagian pada ilmu Islam dan Din. Kemudian bid’ah ini bersamaan dengan kerusakannya yang Nampak dan keburukannya yang bertambah telah benar-benar banyak menyebar dan nampak besar. Aku menduganya sebagai akhir bid’ah dan yang paling keji yang padanya bangkit hari kiamat. Sesungguhnya tidaklah bid’ah ini bertambah kecuali melimpah dan menyebar.” [Hikayah al-Munazharah fil-Qur’an ma’a ba’dhi Ahlil-Bid’ah hal. 51-52]
Wallahul-Muwaffiq.


