Rabu, 17 Maret 2021

[Tentang Gusti Pengeran] Menyebut Allah Ta'ala dengan bahasa lokal sebagai terjemahan atau kabar pada asalnya sah-sah saja. Namun menyebut nama-Nya langsung sebagaimana dalam bahasa Arab (yang ada di Al-Qur'an atau As-Sunnah) lebih baik, yaitu Allah, ar-Rabb, ar-Rahman dan seterusnya.

[Tentang Gusti Pengeran] 

Menyebut Allah Ta'ala dengan bahasa lokal sebagai terjemahan atau kabar pada asalnya sah-sah saja. Namun menyebut nama-Nya langsung sebagaimana dalam bahasa Arab (yang ada di Al-Qur'an atau As-Sunnah) lebih baik, yaitu Allah, ar-Rabb, ar-Rahman dan seterusnya.

Menyebut Allah dengan sebutan Tuhan? Itu hanyalah masalah pembahasaan. Dan lebih baik menyebut Allah.

Orang Jawa banyak menyebut Allah dengan Gusti. Ini dikembalikan ke masalah bahasa. Kadang disisipkan lafal Pengeran (bukan Pangeran). Ini juga masalah bahasa. Terjemahan. Gusti, sebagaimana lafal Tuhan. Pengeran, maksudnya mungkin semakna dengan al-Malik, yang memiliki dan memberi. Tolong koreksi jika salah.

Sebagian memutlakkan Pangeran, bukan Pengeran. Walau ini dikembalikan ke urf, namun sebutan Pangeran untuk Allah sepertinya menurunkan kadar rububiyyah Allah Yang Mulia. Karena makrufnya pangeran bukan bermakna raja.

Lagi-lagi, yang terbaik adalah kembali ke istilah atau penamaan dalam al-Qur'an dan as-Sunnah. Walaupun alasannya terjemahan, namun dikhawatirkan terjadi kesalahfahaman pada sebagian pihak.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah - rahimahullah - berkata:

 إن كثيرا من نزاع الناس سببه ألفاظ مجملة مبتدعة، ومعان مشتبهة، حتى تجد الرجلين يتخاصمان ويتعاديان على إطلاق ألفاظ ونفيها، ولو سئل كل منهما عن معنى ما قاله، لم يتصوره، فضلا عن ان يعرف دليله

"Sungguh, banyak dari pertikaian orang-orang penyebabnya adalah lafal-lafal ambigue yang diada-adakan dan makna-makna yang samar. Hingga Anda temukan dua orang sedang bertengkar dan saling menyerang perihal pengadaan suatu lafal dan penidaannya. Jika keduanya ditanya apa arti dari ucapan itu, rupanya tidak tergambar esensinya dengan baik. Apalah lagi soal pengetahuan akan dalil (lafal tersebut)." [Majmu' al-Fatawa, 12/114]

Yang afdhal bagi thalib terlebih dai, mengenyampingkan penamaan gusti atau pengeran untuk Allah, dan mencukupkan sebutan yang mayshur di nash. Walau alasan kearifan lokal, atau kenusantaraan, namun kesatuan islami itu ada di pengamalan nash, bukan di kearifan lokal dan nusantara.

Alhamdulillah. Sepanjang hidup penulis, tidak pernah memutlakkan gusti atau pengeran untuk Allah, meskipun tidak mutlak mengingkarinya. Alhamdulillah.
Ust Hasan 
https://www.facebook.com/100000941826369/posts/5170322226342454/