Kamis, 14 Mei 2020

MENGUATKAN HADITS DHOIF DENGAN BANYAKNYA JALAN

MENGUATKAN HADITS DHOIF DENGAN BANYAKNYA JALAN

Al-Imam al-Albani rahimahullah dalam mukadimah kitabnya "Tamaam al-Minnah" memberikan beberapa kaedah ilmiyyah dalam berinteraksi dengan fiqih as-Sunnah, diantara kaedah tersebut yaitu :
من المشهور عند أهل العلم أن الحديث إذا جاء من طرق متعددة فإنه يتقوى بها ويصير حجة وإن كان كل طريق منها على انفراده ضعيفا ولكن هذا ليس على إطلاقه بل هو مقيد عند المحققين منهم بما إذا كان ضعف رواته في مختلف طرقه ناشيءا من سوء حفظهم لا من تهمة في صدقهم أو دينهم 
"Masyhur dikalangan ulama bahwa hadits jika datang dari jalan yang beraneka ragam, maka ia menguatkan dan menjadi hujjah, sekalipun masing-masing jalannya secara tersendiri adalah lemah, namun ini tidak secara mutlak, akan tetapi ini terikat menurut para peneliti, diantaranya adalah jika kelemahan para perawinya yang berlainan jalan tersebut bersumber dari JELEKNYA HAPALAN MEREKA, BUKAN BERASAL DARI TUDUHAN TERHADAP KEJUJURAN DAN AGAMA MEREKA...." -selesai-.

Maka dari sini kita dapat tangkap point kriteria yang bagaimanakah untuk hadits dhoif yang bisa dikuatkan jika datang jalur lain yang setara dengannya atau yang lebih kuat darinya.

Apa yang disampaikan oleh asy-Syaikh al-Albani telah disampaikan oleh ulama yang lebih senior dari beliau yang kitabnya menjadi rujukan utama dalam bidang ilmu hadits, yaitu al-Imam Ibnu Sholaah (w. 643 H) rahimahullah, kitabnya lebih dikenal dengan nama "Mukadimah Ibnu as-Sholaah". Beliau rahimahullah berkata (hal. 55, cet. Daar al-Hadits) :
ليسَ كلُّ ضَعْفٍ في الحديثِ يزولُ بمجيئِهِ مِنْ وجوهٍ، بلْ ذلكَ يتفاوتُ: فمنهُ ضَعْفٌ يُزيلُهُ ذلكَ، بأنْ يكونَ ضَعْفُهُ ناشئاً مِنْ ضَعْفِ حفظِ راويهِ مَعَ كونِهِ مِنْ أهلِ الصِّدقِ والديانةِ.
"Tidaklah setiap kelemahan dalam hadits bisa terangkat dengan datangnya (hadits) dari jalur lain, namun yang demikian itu bertingkat-tingkat, diantaranya kedhoifan yang bisa terangkat adalah kelemahannya itu BERSUMBER DARI KELEMAHAN HAPALAN PERAWINYA, bersamaan dengan kondisi ia sebagai orang yang jujur dan taat beragama." -selesai-.

Al-Imam Nawawi rahimahullah yang meringkas kitab beliau diatas juga mengatakan hal yang senada, lalu ucapan al-Imam Nawawi ini disyarah oleh al-Imam Suyuthi (w. 911 H) dalam kitabnya "Tadriib ar-Raawiy syarah Taqriib an-Nawawiy". Beliau rahimahullah mensyarahnya (hal. 111, cet. Daar al-'Aqiidah) :
(الثَّالِثُ: إِذَا رُوِيَ الْحَدِيثُ مِنْ وُجُوهٍ ضَعِيفَةٍ لَا يَلْزَمُ أَنْ يَحْصُلَ مِنْ مَجْمُوعِهَا) أَنَّهُ (حَسَنٌ بَلْ مَا كَانَ ضَعْفُهُ لِضَعْفِ حِفْظِ رَاوِيهِ الصَّدُوقِ الْأَمِينِ زَالَ بِمَجِيئِهِ مِنْ وَجْهٍ آخَرَ) ، وَعَرَفْنَا بِذَلِكَ أَنَّهُ قَدْ حَفِظَهُ وَلَمْ يَخْتَلَّ فِيهِ ضَبْطُهُ، (وَصَارَ) الْحَدِيثُ (حَسَنًا) بِذَلِكَ
"(yang ketiga : jika diriwayatkan hadits dari jalan dhoif, tidak melazimkan dengan gabungan jalan-jalannya) bahwa ia menjadi (hasan, akan tetapi apa yang kelemahannya BERUPA KELEMAHAN HAPALAN PERAWINYA YANGMANA IA JUJUR DAN TERPECAYA AGAMANYA, maka bisa terangkat dengan adanya jalan yang lain), sehingga kita tahu bahwa hapalannya tidak menghilangkan kedhobitannya (dan jadilah) hadits tersebut (hasan) karena hal tersebut (yaitu HASAN LIGHOIRIHI)." - selesai-.

Dengan bahasa yang mudah telah diformulasikan oleh DR. Mahmud ath-Thahaan hafizhahullah dalam kitabnya "Taisiir Mustholaah al-Hadits" (hal. 52, cet. Al-Haramain) :
"Diambil faedah dari definisi ini bahwa hadits dhoif yang terangkat kepada derajat HASAN LIGHOIRIHI adalah dengan dua perkara berikut :
1. Diriwayatkan dari satu jalan lain atau lebih, yangmana jalan lain ini setara dengannya atau lebih kuat darinya.
2. Sebab kedhoifan haditsnya entah karena jeleknya hapalan perawinya atau terputus sanadnya atau kemajhulan perawinya." -selesai-.

Dalam tataran prakteknya syarat yang pertama tidak begitu sulit untuk mencari jalur-jalur lainnya dengan bantuan pencarian hadits baik secara manual menggunakan indeks hadits atau secara otomatis dengan bantuan komputer.

Adapun syarat yang kedua, maka disinilah terjadi banyaknya perbedaan pandangan, karena ternyata kita dihadapkan bahwa satu orang perawi ini terkadang para ulama jarh wa ta'dil tidak satu kata dalam memberikan penilaian kepadanya, ada yang mendhoifkannya dengan keras dan ada yang bahkan cenderung memberinya penilaian positif. Sehingga diperlukan tarjih dalam hal ini dengan mengacu kepada kaedah-kaedah jarh wa ta'dil. 

Berdasarkan hal inilah, kita dapatkan perbedaan ijtihad ulama dalam menilai hadits-hadits yang lemah yang memiliki dua jalan atau lebih, apakah dapat dinaikkan statusnya atau ternyata belum beranjak dari kedhoifannya, sekalipun jalannya banyak, karena dianggap tidak bisa saling menguatkan satu sama lainnya. Belum lagi jika dari awal, ulama tersebut memiliki kriteria yang berbeda didalam menguatkan hadits dari banyak jalan, semisal apakah perawi majhul bisa memperkuat hadits, begitu juga model inqitha' (terputus) sanad yang seperti apakah yang bisa saling memperkuat dan seterusnya.

www.nenotriyono.com